06 Maret, 2008

Kesedihan juga Menawan








”Kebahagiaan yang dicari, kesedihan yang didapat”, demikianlah keluhan demikian banyak manusia. Entah itu di gunung atau di pantai, di desa atau di kota, di rumah mewah atau rumah sederhana, berpendidiksn tinggi atau berpendidikan rendah, sebagian diisi oleh manusia dengan keluhan seperti ini.
Lebih-lebih di rumah Indo-nesia yang menyimpan demikian banyak pekerjaan rumah dari kepemimpinan sampai dengan pengangguran. Sehingga dalam kesederhanaan pemahaman dapat disimpulkan, dalam banyak komunitas manusia, kesedihan serupa dengan musuh, penyakit, hantu bahkan setan yang menakutkan. Tidak ada pilihan lain selain mengusirnya jauh-jauh.
Padahal, siapa saja yang pernah menyelam ke dalam lapisan-lapisan dalam kehidupan–entah melalui pengetahuan, pengalaman apa lagi meditasi–pasti pernah melihat kalau kesedihan bukan lawan (apa lagi musuh) kebahagiaan.
Kesedihan, di kedalaman renungan seperti ini, juga berfungsi tidak berbeda dengan kebahagiaan. Bukankah kesedihan ada untuk merasakan kedalaman kebahagiaan? Tidakkah ada yang melihat, kalau kebahagiaan kehilangan kedalamannya ketika kesedihan ditolak? Adakah yang pernah merasakan getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian dalamnya?
Kalau sejarah digunakan sebagai sumur-sumur pemahaman, ia menyimpan banyak sekali manusia mengagumkan justru karena pernah menyelam dalam di kedalaman kesedihan. Mahatma Gandhi yang legendaris itu, yang mengusir penjajah secara elegan melalui gerakan-gerakan antikekerasan, melalui masa-masa kesedihan yang amat panjang. Dari masa mudanya yang keras di Afrika Selatan sampai masa tuanya yang tertembak.
Dalai Lama yang menyentuh itu, sebagian lebih hidupnya di pengasingan. Kendati hari-harinya berisi kesedihan, kesedihan dan kesedihan, ia tampak semakin kuat melalui senyumannya yang amat khas.
Nelson Mandela lain lagi. Dalam kurun puluhan tahun tokoh Afrika Selatan ini dipenjara secara amat mengenaskan. Namun pengalaman yang demikian mengenaskan ini juga yang membuat seorang Nelson Mandela demikian kuatnya. Dan kemudian demikian dikagumi.
Di Indonesia kita mengenal Mohammad Hatta. Sebagian lebih hidupnya berisi terlalu banyak kesedihan. Hidup miskin dan teramat sederhana. Mundur dari singgasana kekuasaan. Kembali ke kehidupan orang biasa dengan menjadi dosen perguruan tinggi setelah lama duduk di singgasana kekuasaan. Salah seorang puterinya bahkan pernah bertutur, kalau pensiunannya tidak cukup untuk membayar listrik dan tagihan air minum. Namun, bukankah deretan kesedihan ini juga yang membuat Hatta demikian bercahaya hidupnya?
Dalam tataran bangsa, Jepang mulai bangkit kekuatannya beberapa tahun setelah berenang di tengah samudera air mata berupa dua kotanya dijatuhi bom atom. Amerika menjadi demikian maju karena pada awalnya dibentuk oleh manusia-manusia perantauan yang di tempat asalnya keba-nyakan mengalami kesedihan. Negara-negara yang kerap dilanda kesedihan akibat bencana alam seperti Taiwan, seperti menyimpan tenaga hidup yang tidak habis-habisnya.
Sehingga dalam totalitas sejarah seperti ini, layak direnungkan kembali menghadirkan wajah kesedihan yang serba hitam, gelap dan buruk. Lebih dari itu, keserakahan untuk hanya menerima kebahagiaan dan membuang kesedihan, tidak saja membuat kebahagiaan berwajah hambar, juga membuat peradaban manusia bergerak dari satu wilayah dangkal ke wilayah dangkal yang lain.
Disinari cahaya terang seperti inilah, maka penyelam-penyelam dalam di samudera kehidupan tidak sedikit yang menyarankan manusia menyelami serangkaian kedalaman kesedihan.

Penyair menyentuh yang bernama Kahlil Gibran, yang pernah menghasilkan karya master piece berupa Sang Nabi dengan demikian apiknya menulis: ”tatkala kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur!”
Psikiater kondang James Scott pernah menyimpulkan kalau jiwa manusia justru jadi kuat setelah melalui serangkaian kesedihan. Penulis jernih Jan Goldstein malah punya pengalaman tangan pertama, kalau duka cita yang mendalam menghasilkan banyak sekali kesucian. Setidaknya itu yang ia ceritakan dalam karya menyentuhnya yang berjudul Sacred Wounds.
Maulana Jalludin Rumi lebih mengagumkan lagi. Tidak saja pesan-pesannya yang menyentuh, tetapi pilihan bahasanya juga memperterang kejernihan. Dalam salah satu karyanya, Rumi pernah mengandaikan manusia serupa dengan sayur-sayuran. Di alam bebas, sayur-sayuran masih amat mentah. Salah-salah bisa jadi sampah. Namun, melalui hawa-hawa panas dapurlah, sayur-sayuran dibuat menjadi matang, kemudian melangkah meyakinkan menjadi satu dengan kehidupan manusia. Bukankah manusia juga serupa? Awalnya hanya bahan mentah, namun dapur kesedihanlah yang membuatnya menjadi lebih berguna dan bermakna.
Di salah satu pojokan karyanya, Rumi seperti tidak memberikan pilihan lain terkecuali mengalami sendiri kesedihan. Terutama bagi manusia yang mau bertumbuh di ladang-ladang rohani. Coba perhatikan salah satu saran Rumi terhadap orang-orang yang ingin menjadi lelaki sejati: ”hanya melalui kesedihan, melalui penderitaan yang disertai dengan kesabaran, manusia bisa bertumbuh menjadi laki-laki sejati”.
Dalam hamparan kejernihan seperti ini, Indonesia memang masih menyimpan banyak kesedihan, umat manusia pasti masih akan menemui kesedihan, cuma bukankah kesedihan juga yang membawa manusia ke serangkaian kekuatan sekaligus kebahagiaan yang mendalam?

oleh "GDE PRAMA"

Tidak ada komentar: