05 Maret, 2008

Karya Jalaludin Rumi

Sufisme Persia

Sufisme adalah julukan yang disandang oleh gerakan mistik Islam (A. J. Arberry. Warisan Para Awliya Hal 1). Khazanah mistik Islam (tasawuf), sesungguhnya amat kaya dengan tokoh-tokoh humanis sejati yang menyumbangkan gagasan-gagasan kemanusian yang mendasar, sekali pun oleh perlangsungan masa mereka terdesak latar belakang kesejahteraan. Dalam karya Attar yang berjudul Tadzkiratul Awliya (warisan para awliya versi terjemahan yang diterbitkan penerbit Pustaka), kita bisa melihat begitu banyak tokoh-tokoh sufi Islam, khususnya Persia. Pada abad ke-12 tasawuf mendapat penerimaan luas di seluruh negeri Islam bagian Timur, terutamanya di Persia. Pada masa yang sama tasawuf juga mencapai bentuk perumusan yang muktamad dan menjadi salah satu cabang ilmu Islam yang penting. Jasa Imam al-Ghazali (w. 1111 M) Sangat besar terhadap perkembangan tersebut. Melalui karya agungnya seumpama Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), al-Munqid min al-Dalal (Membebaskan Diri dari Kesesatan), Kimiya-i Sa`adah (Kimia Kebahagiaan) dan lain-lain, beliau berjasa mengintegrasikan ilmu tasawuf ke dalam sistem ilmu-ilmu Islam yang meliputi ilmu fiqih dan ilmu kalam (teologi).

Sastra sufi, terutamanya puisinya, juga mengalami perkembangan yang menakjubkan dalam sejarah bangsa Persia. Penyair-penyair Persia yang dianggap sebagai perintis sastera sufi Persia ialah Abu Sa`id al-Khayr, Khwaja Abdullah Ansari, Baba Tahir Uryan dan Sana`i. Karya Sana`i yang terkenal ialah Sair al-`Ibad dan Hadiga al-Haqiqah. Karya-karya ini ditulis dalam bentuk puisi yang indah dan para penilai memandangnya sebagai puisi sufi sebenar yang pertama kali muncul dalam sastra Persia. Karya Sana`i ini diilhamkan oleh pemikiran Imam al-Ghazali dan Ibn Sina. Sana`i berpengaruh besar terhadap penulis Persia sejak pada abad ke-12, khususnya terhadap Fariduddin al-`Attar dan Jalaluddin al-Rumi. `Attar dan Rumi menganggap Sana`i sebagai guru spiritual mereka.

Pada abad ke-12 M para sufi Persia menggunakan qasidah, ghazal dan ruba’i untuk mengekspresikan pengalaman ekstase mistikalnya. Tamsil-tamsil erotik Arab, nyanyian suka ria rakyat Persia dan lagu cinta berahi ala Abu Nuwas digabungkan dan diubahsuai menjadi puisi-puisi religius yang mempesona. Namun Sana`i tidak puas hati menggunakan qasidah, ghazal dan ruba`i. Beliau lantas beralih kepada mathnawi, sebuah bentuk sajak yang lebih longgar dan sesuai bagi penyampaian puisi naratif. Sejak pada masa Sana`i mathnawi dijadikan media penyampaian pengalaman keagamaan dan mistikal (kesufian). Penyair yang muncul selepas Sana`i seperti Fariduddin al-`Attar, Nizami al-Ganjawi dan Jalaluddin Rumi lebih menyukai mathnawi dibanding qasidah, ghazal dan ruba`i. Walaupun demikian penyair-penyair sufi Persia ini juga sering menggunakan qasdah, ghazal dan ruba`i.

Jalal al-Din Rumi merupakan salah satu sufi persia yang hidup pada awal abad 13-an. Karyanya yang Sangat menonjol di seluruh penjuru dunia adalah Masnavi-i Ma’navi atau Masnawi Jalal ad-Din Rumi yang di dalamnya berisi ajaran tasawuf Rumi, karya yang biasa dikenal dengan “qur’an dalam bahasa persia”. Karya ini Sangat termasyhur di belahan dunia Timur mau pun Barat. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa di dunia. Karya-karya puitik Rumi di belahan tanah Melayu dan sekitarnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar.



Rumi dan Perjalanan Spiritualnya

Muhammad Jalal ad-Din, nama aslinya yang kemudian sering kita dengar mawlana ar-Rumi atau Rumi saja. Ia lahir pada tanggal 6 Rabiulawal 640 H (30 september 1207 M), Balkh, yang pada saat itu masuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Kawarizm, Persia Utara. Rumi lahir dari bibit unggul, dari pihak ayah, ia lahir dari keturunan Abu Bakr as-Shiddiq, yaitu khalifah pertama, sedang dari pihak ibu ia terlahir dari keturunan darah Ali bin Abu thalib, dan masih juga termasuk ada ikatan darah dengan Nabi Muhammad. Ia juga termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya, Jalal ad-Din husayn al-Katibi, menikah dengan putri raja ‘Ala ad-Din Muhammad Kawarizmsyah. Dari perkawinan ini lahirlah ayah Rumi, Muhammad Bada’ ad-Din Walad.

Bada’ ad-din Walad, seorang cendikiawan yang shalih, mubalig yang fasih dan prfesor terkemuka. Ia disegani dan dihormati oleh masyarakat karena luasnya tingkat keilmuwannya. Sehingga ia digelari dengan Sultan al-ulama’ –raja para ulama’.__, Bada’ adalah ulama suni yang Sangat setia mempertahankan nilai-nilai tradisional Islam, dan kemungkinan besar termasuk aliran As’ariyyat.

Pada tahun1210, beberapa tahun sebelum kerajaan Khwarizmi ditaklukkan Mongol, Bada’ dan keluarganya meninggalkan Balkh oleh ayahnya dan kemudian mengadakan pengembaraan ke beberapa kota dan negara sekitarnya. Tidak begitu diketahui mengapa Bada’ mengajak keluarganya meninggalkan Balkh, padahal ibu dari Rumi memilki ikatan darah dengan keluarga kerajaan. Ada dua pendapat tentang perpindahan keluarga itu. Pertama, invasi yang dilakukan tentara Mongol ke Balkh. Kedua, masalah politik kerajaan. Beberapa ahl sejarah brpendapat bahwa perpindahan itu lebih dikarenakan penguasa kerajaan Khwarizmi, Muhammad Khwarazmisyah menentang tarikat yang dipimpin Ayahnya Rumi, tarikat Kubrawiyah. Namun, pendapat ini banyak ditentang pula, karena ayahnya memiliiki kedudukan yang tinggi dalam kerajaan Khwarizmi.

Cerita yang diulang-ulang yang mengatakan Baha’i walad meninggalkan Balkh karena permusuhan dengan ahli teologi terkenal, Fakhruddin Razi, sebenarnya tidak mendasar, walaupun keduanya memang tidak saling menyukai. (Annemarie S. Hal.29). Pada kenyataannya, seperti juga yang dikatakan Rumi dalam fihi ma fihi, raja Khwarizmi, menolak orang-orang Mongol dan membunuh beberapa pedagang Mongol. Akibat tindakan raja Khwarizmi, jengis khan mengirim pasukannya, menaklukkan Iran dan sekitarnya. Apakah jauh sebelum kejadian ini, Bada’ sudah meramalkannya, masih merupakan yang belum jelas jawabannya, apakah ini yang menyebabkan Baha meninggalkan Khwarizmi.

Ketika Rumi berusia tujuh tahun, di Nisyapur, keluarga Bada’ bertemu dengan Fariduddin Attar. Attar Sangat terkesan akan pertemuannya dengan Rumi, ia meramalkan bahwa kelak Rumi akan menjadi seorang guru spiritual agung yang masyhur. Dalam pertemuan itu, Atar memberi hadiah buku Asrar-namah (Kitab Rahasia Ketuhanan) kepada calon guru spiritual itu.

Mawlana Rumi yang berusia 18 tahun menikahi seorang gadis dari rombongan yang telah mengadakan perjalanan bersama mereka dari Khurasan. Di Landara[1], pada tahun 1226, putra pertamanya lahir, ia diberi nama Sultan Walad., yang merupaan nama kakeknya, Bahauddin Walad. Ketika Rumi berusia 22 tahun, Bada’ berserta keluarganya diundang menuju Qoniya. Ketika mereka sampai di sana, mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat muslim dan juga langsung oleh Sultan sendiri di istana kerajaan. Bada’ mendapat bantuan dari sultan Kayqubad dalam mendirikan madrasah yang cukup besar. Tak lama kemudian Bada’ diangkat menjadi penasehat oleh Sultan sesuai dengan keahliannya. Pada tahun 1331 M, Baha meninggal dunia.

Sepeninggalan ayahnya, Rumi diangkat untuk mengisi kedudukan ayahnya di samping Sultan selaku penasihat para sarjana dan mahasiswa almarhum ayahnya, saat itu usianya baru 24 tahun. Tidak lama kemudian, ia mulai mengajar di universitas tersebut dan berdakwah kepada rakyat menggantikan ayahnya. Sekitar masa itulah Syaid Burhanuddin al-Tirmidhi datang ke Qoniya, ia mendapat sambutan hangat dari penduduk Qoniya yang ingin mempelajari. Rumi menerima pelajaran inti sari tasawuf dari beliau yang tinggal di Qoniya selama sembilan tahun. Di bawah bimbingan Burhan ad-din, Rumi melanjutkan pendidikannya ke Aleppo (Halb) dan Damaskus. Rumi tinggal di Madrasa Halawiyah, dan menerima pendidikan dari Kamal ad-din Ibn al-A’dim. Dari Aleppo ia pergi ke Damaskus, tinggal di Madrasa Maqdasyah, ia sempat pula berbincang dengan ad-din Hamawi, Syekh Muhy ad-din ‘Arabi, Syekh Sa’ad ad-din Hamawi, Syekh ‘Usman Rumi, Syekh ‘Auhad ad-din Kirmani dan Syekh Sadr ad-din Qoniyawi.

Pada tahun 1241, Rumi kembali ke Qoniya dan membina sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf. Madrasah yang dipimpinnya berkembang pesat, tidak hanya ilmu syariat dan fiqh saja yang diajarkan, namun ilmu taswuf juga diajarkannya. Untuk kebanyakan murid, ia mengajarkan ilmu-ilmu formal, dan kepada murid-murid terpilihlah beliau mengajarkan ilmu tasawuf. Karena nama besarnya, tidak hanya orang-orang Arab dan Persia saja yang datang ke Qoniya untuk menerima ajaran beliau. Tetapi, juga banyak orang-orang Yunani dan Turk.

Bertahun-tahun Rumi menikmati kemasyhuran dan kedudukannya yang tinggi sebagai pemuka dan sarjana ilmu keislaman di Qoniya. Pengalaman mengajar ratusan murid dari kalangan yang berbeda, memberi banyak hikmah yang berarti buatnya. Beliau merasa bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah mengubah jiwa manusia. menurut Rumi, pengajaran formal tidak Sanggup membuat kepribadian seseorang berkembang sebagaimana diharap (Abdul. H. W.M Hal 3).

Suatu hari, ditahun 1224-1225 M. Beliau berjumpa dengan seseorang yang Sangat berkesan dalam hidupnya, Syams ad-din at-Tabrizi, seorang darwis misterius yang datang ke Qoniya. Pertemuan itu menyebabkan Rumi meninggalkan kemasyhurannya dan mengubah Jalal al-Qoniya menjadi Mawlana Rumi.

Begitu besar pengaruh Syam terhadap ulama yang terkenal ini, sehinga Rumi mau menghentikan mengajar dan berdakwahnya, beliau rela meninggalkan madrasah yang beliau bina selama empat tahun. Rumi membawa Syam kerumahnya. Kemudian, ia mengurung di kamar berdua, tanpa seorang pun yang boleh masuk ke dalamnya. Persahabatan Syam dengan Rumi yang begitu akrab membuat murid-murid dan sahabat-sahabat Rumi lainnya merasa iri dan marah. Sikap ini mulai disadari oleh Syam, sehingga ia meninggalkan Rumi secara diam-diam setelah tinggal bersama selama enambelas bulan. Dan menurut setengah-setengah riwayat Syam meninggalkan Qoniya karena diusir oleh murid-murid yang tidak menginginkan persahabatan Rumi dengan Syam berlangsung lebih lama (Abdul H.W.M. Hal 4) Perpisahan ini membuat Rumi merasa terpukul, dan akhirnya ia memutuskan hubungan dengan para murid dan sahabatnya. Kerinduan Rumi kepada Syam yang begitu mendalam, sehingga ia menuliskan puisi dalam salah satu suratnya;



Kembalilah padaku, oh cahaya kalbuku,

Tumpukan hasratku.

Perlahan kau datang dengan gairah cinta yang lempang.

Bila kau datang, bahagia hati ‘kan kujelang:

Jika tidak, kesedihan yang dalam

‘kan jadi sewaan.

Kau penaka mentari, meki jauh

Dekat kurasakan;

Kembalilah, oh, kau yang jauh di sana,

Tapi kujumpa di sini.



Kabar gembira sampai pada telinga Rumi, bahwa Syam berada di Damaskus, kota yang Rumi sebut dengan Dimisyq-i ‘Isyq (Damaskus Cinta) (Annemerie S. Hal 37). Kemudian Rumi mengutus putranya Sultan walad membawa surat kepada Syam dan menjamin keselamatannya atas murid-muridnya yang pernah membencinya dan murid-muridnya mau memaafkannya. Dan akhirnya Syam Tabriz kembali ke Qoniya bersama dengan Sultan Walad. Pertemuan dua sahabat pun tiba, Rumi begitu gembira dengan pertemuan itu, setelah sesaat berpisah. Kali ini Rumi mendesak agar Syam tinggal serumah dengan dia dan mengawinkannya dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya (Annimrie S. Hal 38) Hari demi hari yang mereka lalui penuh dengan kecintaan, mereka hanyut dalam pembicaraan pelbagai masalah spiritual dan keagamaan yang membuat Rumi terhanyut ke dalamnya.

Rasa iri kembali muncul dari murid-muridnya, bahkan lebih gawat dari yang awal, dan suatu saat Syam kembali meninggalkan Rumi tanpa sepengetahuannya. Setelah Rumi mengetahui peristiwa itu, ia menyuruh putra lainnya, ‘Ala ad-din, untuk mencari Syam Tabriz. Dalam pencariannya, ‘Ala ad-din terbunuh, tidak jelas siapakah pembunuh dari putra Sang mawlana, tapi banyak yang memprediksikan bahwa murid-muridnya Rumilah yang telah membunuhnya. Dan Syam Tabriz, entah kemana dia, ia hilang secara misterius. Rumi semakin terpukul mendengar berita atas kematian putranya, dan akhirnya Rumi mendapat gangguan kejiwaan.

Rumi merasa patah hati. Karena terpisah dari mataharinya (Syam), apa yang dapat dilakukannya? Namun, pada saat inilah ia mulai berubah, beliau menjadi sorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, menari berputar-putar selama berjam-jam. Dia sendiri tak tahu apa yang terjadi. Dan muali terlontar dari mulutnya syair-syair, salah satu syairnya;



Aku adalah Zahid yang pandai, orang yang berjuang.

Kawanku yang sehat,

Katakan mengapa kau terbang

seperti burung?




Dalam keadaan ekstase Rumi selalu membayangkan kehadiran gurunya, dan pada saat-saat demikian puisi-puisi mistikal Rumi dihasilkan. Kerinduannya yang teramat mendalam kepada Syam, memaksa dirinya untuk terjun sendiri dalam pencarian Syam ke Damaskus. Pada tahun 1249 M bersamaan harapan untuk bertemu dengan Syam mulai pudar, ia kembali ke Qoniya atas undangan warga kota yang telah redam amarahnya. Ia kembali sebagai seorang penyair dan memulai tugas barunya sebagai guru kerohanian.

Rumi menciptakan spiritual yang berputar seperti gasing, yang arah putarnya berlawanan dengan arah putar jarum jam. Tarian ini dikenal dengan “the Whirling dervish’s Dance” dalam dunia belahan Barat, Yang kemudian tarian ini dipertunjukkan oleh para pengikut tarekat Maulawiyah. Ritual ini terdiri dari pembacaan azan, dzikir, wirid, diiringi musik (seruling), rawatib (nyanyian Suci) dan pembacaan puisi keagamaan. Dalam ritual inilah, biasanya para darwis mengalami ektase mistikal, bila para darwis sudah mencapai puncak ektase, maka akan keluar sajak-sajak puisi yang indah. Rumi sendiri menghasilkan kebanyakan puisi-puisi mistikalnya ketika mengalami ekstase sufistik, beliau merujuk dari rahasia terdalam proses penciptaan, yaitu cinta ilahi (‘ishq-i ilahi), atau sikap jiwa yang selalu memusatkan pandangan (tafakur, meditasi) kepada Sang Pencipta. (Abdul H. W. M Hal 5)

Setelah memimpin tarekat yang ia dirikan segera ia kembali ke Damaskus, dan menyusun Masnawi atas permintaan Hisam ad-din selama lebih dari limabelas tahun. Kesehatan Rumi mulai menurun dan tak lama kemudian Rumi jatuh sakit. Hisam ad-din mengatakan bahwa ketika Syekh Sadr ad-din beserta beberapa darwis lainnya datang menjenguk Rumi pada akhir-akhir hidup Sang Mawlana. Dalam salah satu percakapannya Sadr mengatkan, “Semoga Tuhan lekas menyembuhkan Anda.” “Tidak” kilah Rumi “Hanya ada satu jarak selebar rambut lagi antara pencipta dengan kekasihnya. Tidakkah anda suka jika jarak ini pun musnah jua, sehingga jiwa terbatas ini boleh bersatu dengan (jiwa) yang tak terbatas.” Rumi menutup perjalanan hidupnya tanggal 3 jumadilakhir 627 H, (Desember 1273 M), genap usia enampuluh delapan, di Qoniya.

Karya-karya puitiknya

Sang Mawlana kini telah tiada, numun keharuman namanya dan karya-karyanya nan agung, indah dan mendalam, serasa dia masih hidup sampai saat ini. Karyanya bukan hanya untuk umat muslim, melainkan juga kapada kemanusiaan. Beberapa karya yang telah ditinggalkannya meliputi;(1)Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syams Tabriz), merupakan karya yag berisi di dalamnya hubungan persahabatan antara dia dan Syams Tabriz.(2) Divan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syams Tabriz), berisi tentang perasaan Rumi atas kerinduannya yang Sangat mendalam kepada Syams Tibriz akan perpishannya.(3) Masnavi-i Ma’navi atau Masnawi Jalal ad-Din Rumi, merupakan karya agung Rumi yang terdiri dari enam jilid, karya ini dikerjakan lebih dari limabelas tahun oleh Rumi, di dalamnya bercerita sekitar ajaran mistik (tasawuf) Rumi.(4) Ruba’iyyat, karya puitis Rumi lainnya yang memuat kurang lebih 1.600 bait, dalam bentuk quatrain (sajak empat baris).(5) Fihi ma Fihi (Di Dalam Apa Yang Ada Di Dalam), merupakan kumpulan ceramah Rumi tentang tasawuf kepada para pengikut yang masuk dalam tarekatnya.(6) Maktubat (korespondensi), merupakan kumpulan surat-surat Rumi kepada dan untuk membalas para sahabat dan pengikutnya.

Rumi berpendapat bahwa untuk memahamkan kehidupan dan asal-usul kewujudan dirinya, manusia mesti menggunakan jalan cinta, bukan hanya dengan jalan pengetahuan. Cinta menurut rumi merupakan asas penciptaan alam semesta dan kehidupan di dalamnya. Di sini cinta dapat bermakna kehendak yang kuat untuk mencapai sesuatu atau menjelmakan sesuatu. Cinta juga dapat diberimakna sebagai sebuah ilmu pengetahuan intuitif, yang bersifat langsung antar subjek dengan objek yang dikaji, yang berdasar pada gerak hati terdalam. Dalam kehidupan keberagamaan, cinta bisa diartikan keimanan yang mendalam dan kukuh kepada Yang Mahakuasa.

Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, yaitu cinta kepada alam kerohanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Lewat cinta, kita bisa membuang sekat-sekat perbedaan sperti; ras, agama, bangsa, budaya, dan lain-lain. Dalam sebuah saja, beliau mengatakan bahwa; hakikat manusia sebenarnya ialah kedirian yang bersifat Spiritual;



Apa yang mesti kulakukan o muslim? Jika aku tak kenal diriku?

Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi, dan bukan pula Muslim.

Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak ada darat atau lautan.

Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar.

Aku tidak dari tanah, air, udara, atau api.

Tidak dari bintang zuhra atau debu, tidak dari kewujudan dan wujud.

Aku tidak berasal dari Indiia, China, Bulgar, atau Saqsin.

Tidak dari kerajaan Iraq atau Khurasan.

Aku tidak berasal dari dunia ini., tidak dari alam akhirat,

Tidak pula dari syurga atau neraka.;

Tidak dari Adam dan Hawa, atau Taman Eden dan Malaikat Ridwan.

Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak.

Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.

Kubuang dualtas, kupandang dua alam satu semata;

Satu saja yang kucari, satu yang kukenal, kulihat dan kuseru

Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin.




Dari syair Rumi di atas, Rumi mencoba mengatakan bahwa; dengan cinta sejati, kita bisa melampaui bentuk-bentuk zahir dan mencapai hakikat tertinggi kemanusiaan. Dan di dalam syair tadi, Rumi mengatakan sifat-sifat Tuhan Azali, Abadi, dan yang Mahanyata sekaligus Mahagaib. Rumi melihat hakikat manusia dari dalam, dari alam batin. Ia mencoba keluar dari qur’an, manusia bukan lah tercipta dari tanah, air, udara, atau api. Melainkn tercipta dari yang Mahakuasa. Karena atas yang Maha Azalilah, manusia dan alam ini ada, bukan dari Tanah, air, udara, api, atau pun syurga.

Dalam setiap syair keluar lewat mulutnya, terkadang beliau merasa bahwa itu bukan dia yang berbicara. Salah satu penyatuan penuh dengan Sang tercinta mistis, yang menjadi dasar dari banyaknya syair-syair Rumi tercipta. Dan dalam sebah ghazal yang mempesonakan;



Kala kucari damai,

dialah penolong sejat,

Kala kupergi berperang,

belati, itulah dia;

Kala kupergi ke pertemuan,

dialah anggur dan manisan.

Kala aku ke taman,

keharuman, itulah dia.

Kala aku ke pertambangan,

dialah batu delima di sana.

Kala aku menyelam di lautan,

dialah mutiara.

Kala aku ke geurun,

dialah taman di sana.

Kala aku kelangit,

dialah bintang-bintang terang...

Kala kutulis suratke

sahabat-sahabat tercintaku,

Kertas, dan tempat tinta,

tinta, pena, itulah dia.

Kala kutulis syair

dan kucari kata bersajak—

Yang membentangkan sajak-sajak

dalam pikiranku, itulah dia!




Ghazal-ghazal rumi, Rumi secara formal dan teknis, adalah benar, tetapi karena dilahirkan dari pengalaman langsung dengan Sang tercinta, maka terlihat mencekam. Maka ghazal yang disajikan pun berbeda dari ghazal yang halus dan menyerupai permata karya penyair-penyair seperti Hafizh atau Jami (Annemarie S. Hal 79). Dalam karya-karya lainnya, Rumi juga memasukkan kata dari bahasa Turki dan Yunani seperi kata agapos (yang dicintai). Ia juga memasukkan dialog-dialog kecil dalam bahasa Turki kedalam syairnya. Penggunaan bahasa arabnya, baik yang sedikit sedikit maupun dalam keseluruhan baris atau bahkan seluruh puisi, sangat mengagumkan. Ada baris-baris yang menakutkan dalam salah satu syairnya di dalam Diwan-i Kabir, yang merupakan ingatan akan kesedihan Rumi karena ditingal yang dicintanya (Syam), seperti dalam syair berikut;



Kûh kun az kullahâ...

Ciptakan gunung tengkorak,

ciptakan lautan dari darah kita...



Di dalam syairnya, Rumi juga menyisipkan pepatah-pepatah dan ungkapan-ungkaapan rakyat ke dalam Syairnya. Seperti burung unta (dalam bahasa persia di kenal dengan shuturmurgh) yang dikombinasikan menjadi sebuah satire (syair sindiran) tentang sorang yang tak dapat dipercaya;



Hai, tuan, burung macam apa kamu?

Namamu? Untuk apa kamu?

Kau tak terbang, kau tak merumput,

kau burung kecil!

Kau bagaikan burung unta. Ketika diperintah,

“Ayo terbang!”kau akan bilang,

“Aku unta Arab!—kapan

unta pernah terbang?”

Kala tiba waktunya untuk membawa muatan,

kau bilang, “Tidak, aku ini burung!

Kapan burung membawa muatan? Tolong,

jangan lagi ucapkan kata menyebalkan ini”



Melalui syair-syairnya, Rumi mencoba memperlihatkan eksistensinya sebagai penyair universal. Rumi dengan syair-syairnya menggunakan bahasa yang menembus alam zahir ini menuju alam hakikat. Dan dalam kebanyakan syairnya berisikan tentang pesan cinta. Karena cinta ialah penawar untuk segala kesedihan dan duka nestapa, dan ia merupakan obat dalam dua dunia. Ketika mengkaji karya-karya Rumi, perlu penyelaman melalui pemahaman yang dalam. Rumi pernah mengatakan, bahwa bahasa hanya membatasi dalam kita mengungkap esensi dari sebuah pengalaman spiritual, sehingga, dalam pengkajiannya, janganlah kita menafsirkan karya-karya Rumi secara leterlek.Karena karyanya tidaklah hanya seperti yang tampak, bukan sebatas puisi yang enak untuk dinikmati, melainkan penuh dengan kandungan hikmah (filsafat) di dalamnya.


Oleh:Ngabdullah Akrom

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih sudah posting tulisan saya, teman bisa lihat tulisan saya yang lain di www.arkoun.multiply.com
mungkin kita bisa saling berbagi.