10 Februari, 2008

Ringkasan isi serat centhini

Serat Centhini atau berjudul resmi Suluk Tambangraras disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.
Diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram, yang digambarkan pada tembang kedelapan; suatu malam hujan berat, Pangeran Surabaya sendirian datang menghadap ke serambi masjid Giri. Pangeran Pekik namanya, dan dia berujar: "Wahai Sunan Giri, dengarkan baik-baik perkataanku. Sultan Agung adalah raja Tanah Jawa. Gusti Jagad di atas jagad, beliau memerintah dengan sangat santun, bijaksana, dan sesuai dengan hukum Allah serta sakti. [...] Bila
kamu benar-benar menginginkan kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Giri, bersujudlah kepada Sultan Agung..."

Dari sinilah kisah dimulai. Sunan Giri menolak, perang pecah, Giri takluk dan tiga putranya bernama Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti, memilih untuk melakukan perjalanan spiritual. Berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan itu, mereka memperolah pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh, Hadis Markum, hingga perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh- tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai
dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan
tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Tidak ada komentar: