11 Februari, 2008

Filosofi Air

Suatu ketika Sultan Hamengku Buwono X pernah mengatakan bahwa kalau ingin jadi pemimpin yang benar-benar demokratis harus mempunyai sifat baik seperti yang dipunyai oleh air.

Air mempunyai sifat empat perkara: Ketika dalam keadaan normal, air mempunyai sifat yang biasa tenang. Dan tidak pernah menghancurkan atau menyingkirkan benda-benda yang menghalangi arusnya. Malah kalau ada batu atau pohon air senantiasa menghindarinya. Dengan amat ‘luwes’, air itu melewati halangan tanpa adanya kurban, walaupun tujuannya sampai. Seolah-olah air tak mempunyai kekuatan, tak berdaya. Tetapi sesungguhnya di situ tersimpan kekuatan yang maha dahsyat.

Kedua, lautan seperti lebih berkuasa daripada sungai, lantaran airnya lebih banyak.

Tetapi yang mengherankan, air lautan itu berada di bawah sungai, dan sungai berada di bawah mata air. Ini mengandung makna bahwa legitimasi kekuasaan itu berawal dari sikap yang ‘andhap asor’ dan siap melayani rakyatnya. Semua itu membawa imbalan, karena air sungai itu semua mengalir ke samudera.

Sifat air lainnya adalah bisa untuk bercermin. Artinya pemimpin harus mempunyai sikap dan tindak yang baik -Laku utama- supaya bisa dicontoh oleh rakyatnya.

Pemimpin harus bisa bercermin kepada rakyatnya. Air juga mempunyai sifat mengalir ke bawah. Artinya mencari masalah yang paling dasar dan penting.

Di tengah masyarakat agung, diwujudkan dengan rasa cinta terhadap sesama hidup. Sejarah mencatat, tokoh-tokoh besar dunia maupun nasional pasti mempunyai cinta kasih dan hormat terhadap sesama hidup. Penguasa mempunyai kewajiban jadi pengayom dan ‘pengayem’-penjaga ketenteraman masyarakat kecil.

Dengan demikian bisa diartikan pula bahwa air merupakan ungkapan rasa manusia. Air perlambang rasa yang hidup. Oleh karena itu ada semacam ungkapan Jawa atau aromisma yang mengatakan bahwa “kalamun harsa sumurup urubing tirta, gondhelana talining mega”. Ini hanya akan mengungkap masalah rasa manusia yang bisa hidup kalau manusia mampu mengendalikan hawa nafsu. Mega dilambangkan sebagai nafsu yang terus bergelora.

Itulah mengapa nenek moyang kita dulu menamai nama-nama kota seperti Banyumas, Banyuwangi sebagai sebuah harapan dan tujuan bahwa penduduknya agar sadar bahwa rasa harus senantiasa diasah, dilatih agar bersinar dan tajam bahkan bisa mewujudkan keharuman nama.

Belum lagi kalau manusia ingin mencapai kesempurnaan hidup, yang dikejar hanyalah pertautan antara ‘laut dan langit’, laku utama-laku keutamaan dan ‘Laladan lungit’ wilayah sakral kejiwaan.

Di dalam pemahaman ini laut mengibaratkan kesabaran yang tinggi yang selalu memuat luapan air kali dari mana pun. Dan uniknya segala sampah disingkirkan ke tepi. Jadi kalau kita melihat laut yang ada hanyalah kilauan kebersihan. Ini menunjukkan bahwa jiwa manusia haruslah seperti jiwa laut yang menyingkirkan segenap sampah kehidupan ke tepi. Laut wujud dari cermin kehidupan untuk menggalang laku keutamaan. Keselarasan, keindahan dan kebaikan yang tercermin. Sementara langit yang dimaksudkan di sini adalah ‘laladan lungit’, wilayah pemahaman yang sangat pribadi dalam kehidupan manusia. Wilayah ini sangat sulit untuk dipahami bersama secara umum. Biasanya dipahami dalam bentuk pribadi personal yang khas. Oleh karena itulah manusia Jawa sering mengatakan ‘nora golek kasampurnaning urip, ananging ngupaya urip kang sampurna’. Sebab hidup sendiri sudah tidak sempurna. Manusia telanjur terpatrikan dengan sifat, ‘lali, luput lan apes’. Lupa, salah dan sial. Oleh karena itulah untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat sebagai laku keutamaan manusia Jawa hanya mengandalkan laku keutamaan dengan semangat menebarkan keharuman nama. ‘Nyebar ganda arum’-ngeksi ganda. Sebab hidup manusia di dunia ini kalau dicermati hanyalah memberikan bukti kebaikan-aweh bukti becik-terhadap sesama hidup.

Tidak ada komentar: