25 Januari, 2008

Dyah Pitaloka..(Senja di langit Majapahit)

Cerita roman sejarah yang menyajikan banyak kisah dari kegelisahan dan jeritan hati sang putri Kadaton Surawisesa atau kerajaan Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, 18 tahun. “…Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama…” desahnya. Sendirian di buritan kapal, berdiri dalam latar bidang langit yang makin temaram, dengan tangan bertumpu pada pagar perahu, dia membentuk siluet tubuh ramping yang sekilas mirip Subadra muda.

Di arah timur itu, Dyah Pitaloka sedang menjemput takdir yang telah digariskan Sang Prabu Maharaja Linggabuana, ayahnya, kendati baginya belum pasti apakah esok hari matahari itu akan utuh atau terbelah. Ah, bagi dunia, siapa yang tak akan menempatkan Dyah Pitaloka sebagai putri yang paling beruntung? Dia akan menjadi bunga di Negeri Wilwatikta yang tak tertandingi kejayaannya.

Perang bubat yang melibatkan antara kerajaan besar Wilwatikta atau Majapahit, penguasa Nusantara bahkan hingga ke negeri seberang, dengan kerajaan Sunda dengan kaca pandang sisi kewanitaan seorang Dyah Pitaloka. Banyak cita-cita atau keinginan yang akan dilakukan terhadap kaumnya agar tidak terlalu jauh tertinggal dengan kaum lelakinya, rasa cinta di hati yang harus disisihkan demi kebahagiaan keluarganya, kerajaannya, dan rakyatnya.

Pengorbanan Dyah Pitaloka, cinta sejati Prabu Hayam Wuruk, dan keinginan saling merapatkan tali kekeluargaan kembali antara ke dua kerajaan yang para leluhurnya dulu sesungguhnya masih bersambung darah itu harus berbenturan dengan ambisi Sang Maha Patih Kerajaan Wilwatikta, yaitu Patih Gajah Mada. Dengan sumpah Palapa-nya yang terkenal membuat hampir seluruh Nusantara takluk dibawah kekuasaan Majapahit. Hanya ada satu negeri yang hingga saat itu masih merdeka dari pengaruh Majapahit, yaitu Negeri Sunda! Negeri Sunda inilah yang membuat sumpah Palapa Gajah Mada belum juga tergenapi.

Raja Hayam Wuruk yang saat itu hendak mencari seorang istri mengutus para juru lukisnya ke segenap penjuru nusantara untuk melukis putri-putri dari berbagai kerajaan yang kelak akan dipilihnya untuk menjadi permaisuri. Kecantikan Dyah Pitaloka di Negeri Sunda tak luput dari incaran juru lukis Majapahit. Mulanya Dyah Pitaloka tak berkenan dengan cara yang dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk untuk mencari permaisuri, harga dirinya sebagai seorang putri negeri Sunda terasa terlecehkan, namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya, Prabu Linggabuana yang menyetujui lamaran Prabu Hayam Wuruk.

Sedemikian besar jasa yang telah ditanamkan Gajah Mada kepada negeranya, sehingga Prabu Hayam Wuruk sendiri tidak bisa menolak disaat Sang Maha Patih memperlakukan prosesi perkawinannya dari sudut pandangnya, politis. Pernikahan Dyah Pitaloka dengan Prabu Hayam Wuruk dilihatnya sebagai kesempatan untuk menggenapan Sumpah Palapa-nya. Dengan cerdiknya Gajah Mada mempengaruhi Prabu Hayam Wuruk agar memandang pernikahannya dengan Dyah Pitaloka sebagai suatu pengakuan kedaulatan negeri Sunda terhadap Majapahit. Dengan demikian Dyah Pitaloka dianggap sebagai "upeti" dari Negeri Sunda.

Prabu Hayam Wuruk yang rencananya akan menjemput Dyah Pitaloka dan rombongannya di Tegal Bubat akhirnya gagal. Gajah Mada merubah rencana yang telah terususun rapih. Rombongan Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka yang telah tiba di Tegal Bubat heran karena Prabu Hayam Wuruk dan rombongan yang akan menjemputnya tak kunjung tiba. Dua ksatria dari Negeri Sunda diutus untuk memasuki Majapahit, mereka bertemu dengan Gajah Mada yang memerintahkan agar Prabu Linggabuana dan rombogannya datang sendiri ke istana Majapahit untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai "upeti" dari Negeri Sunda. Hal ini membuat Prabu Linggabuana dan seluruh rombongannya tersinggung. Harga diri dan kebesaran Negeri Sunda terasa tercabik-cabik, Prabu Linggabuna menolak perintah Gajah Mada. Perang tak terhindarkan! Pertarungan yang tak seimbang antara harga diri Prabu Linggabuna dan ambisi Gajah Mada berkembang menjadi perang yang dashyat dan melagenda, dua kekuatan tak mau menyerah begitu saja. Dyah Pitaloka yang masih menggunakan pakaian pengantinnya ikut bertarung mempertahankan negeri dan harga dirinya sebagai seorang putri Sunda. Sejarah mencatar Perang ini sebagai Perang Bubat (1357). Dan Dyah Pitaloka pun bunuh diri sebagai ungkapan harga dirinya. Demikianlah, kisah romantis ini harus berakhir tragis

Sumber : Novel "Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit" Oleh Hermawan Aksan

Tidak ada komentar: