25 Februari, 2008

Kitab Tao te ching (Lao Tzu)

Pasal 1:

Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang abadi.
Nama yang dapat dilafalkan, bukanlah nama yang kekal.
Kekosongan adalah awal langit dan bumi;
Dialah ibu segala ciptaan.
Bebaskan segala keinginan dan nafsu, maka terbukalah misteri yang gaib itu,
Dengan keinginan dan nafsu, hanya terlihat manifestasinya.
Keduanya berasal dari sumber yang sama,
hanya namanya saja yang berbeda.
Merupakan misteri yang gaib,
Misteri dalam misteri,
Gerbang segala kegaiban.

Pasal 2:

Jika dunia mengenali cantik sebagai kecantikan, maka hal itu karena adanya keburukan.
Jika dunia telah mengenali baik sebagai kebaikan, maka hadirlah juga kejahatan.
Maka, ada dan tidak ada silih berganti.
Mudah dan sukar saling melengkapi.
Pendek dan panjang saling menimpali.
Tinggi dan rendah saling mengimbangi.
Nada dan suara harmonis serasi.
Depan dan belakang saling mengikuti.
Maka sang Budiman bertindak tanpa tindakan dan mengajar tanpa ucapan.
Membiarkan alam bekerja dengan sewajarnya,
menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki.
Dia bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Dia berhasil, tetapi tidak membanggakan jasanya,
Karena tidak merasa memiliki apa-apa,
dia tak pernah kehilangan apapun juga.

Pasal 3:

Dengan tidak memuliakan orang-orang pintar,akan mencegah kedengkian dan persaingan;
Dengan tidak menghargai barang barang berharga, akan mencegah timbulnya pencurian;
Dengan tidak memamerkan hal-hal yang mengundang nafsu serakah, akan mencegah orang dari kekalutan pikiran.
Maka sang Budiman memerintah rakyatnya dengan,
mengosongkan hati pikirannya,
mengenyangkan perutnya,
melemahkan ambisinya,
menguatkan tulangnya.
Membuat rakyat dalam keluguan dan tanpa nafsu serakah,
Membuat yang pandai tidak berani mengacau,
Bertindak tanpa tindakan,
Dengan demikian tidak ada yang tak teratur.

Pasal 4:

Tao bagaikan bejana kosong, terus dipakai dan tak pernah habis.
Agung dan dalam, dialah sumber segala ciptaan.
Dia tumpulkan ketajaman,
Menguraikan kesulitan;
Melembutkan gemerlapan,
Menyatukan dengan debu;
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Aku tak tahu berasal dari mana dia,
Dia telah ada sebelum Tuhan.


Pasal 5:


Langit dan Bumi tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua mahluk laksana anjing jerami;
Sang Budiman tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua orang laksana anjing jerami.
Bukankah alam seperti pompa angin?
Kosong tapi bukannya tanpa daya,
Makin banyak digerakkan
makin banyak angin yang diproduksi,
Banyak omong hanya melelahkan,
Lebih baik temukan kebijakan diri dalam sanubari.

Pasal 6:


Semangat 'lembah' nan abadi,
Dialah ibu kegaiban,
Gerbang ibu kegaiban itulah akar langit dan bumi.
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Gunakanlah, kau akan selalu dimudahkan.

Pasal 7:


Langit dan Bumi kekal abadi. Mengapa?
Sebab tak hidup untuk diri sendiri,
Maka dapat panjang umurnya.
Sang Budiman tak tonnjolkan diri sendiri, maka ia di muliakan.
Dia jauhkan egonya, dan menemukan kepenuhan.
Bukankah karena tak hidup untuk diri sendiri,
Maka ia mampu mencapai kesempurnaan?

Pasal 8:


Kebajikan tertinggi bagaikan air,
Memberi manfaat bagi semua mahluk tanpa pamrih,
Menempati tempat yang terendah,
Seperti itulah sifat yang dekat dengan Tao,
Dalam hal:
bertempat tinggal, cintailah lingkungan.
berperasaan, hayati sedalam kalbu,
memberi, landasi dengan kebaikan hati,
berbicara, tunjukkan ketulusan hati,
memerintah, berikan ketertiban dan ketentraman,
bekerja, kembangkan ketrampilan,
bertindak, pertimbangkan saat yang tepat,
Karena tanpa niat bersaing,
maka tak ada rasa salah dan sesal.

Pasal 9:


Terus memenuhi segala hasrat keinginan,
Tak sebijak jika anda berhenti pada saatnya.
Prakiraan yang rincipun,
Tak dapat digunakan sepanjang masa.
Ketika emas permata memenuhi rumahmu,
Kau tak akan mampu mengamankannya,
Ketika anda membanggakan harta dan kedudukan,
Anda menjemput sang malapetaka,
Ketika anda mencapai keberhasilan,
itulah saat untuk berhenti.
Inilah Jalan Alam Surgawi.

Pasal 10:


Menyatukan jiwa dalam kemanunggalan dengan yang Esa, dapatkah anda lakukan tanpa berpisah denganNya?
Dalam mengatur nafas anda, dapatkah anda melakukan selembut seorang bayi?
Dalam memurnikan pikiran anda, dapatkah melenyapkan segala noda batin?
Dalam menyintai rakyat dan memerintah negara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Dalam membuka dan menutup pintu hati, dapatkah anda melakukannya dengan penuh kelembutan?
Dalam memahami segala perkara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Melahirkan dan memelihara,
Menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki,
Bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Memimpin tanpa mendominasi,
Inilah kebijakan tertinggi.

Pasal 11:

Tiga puluh jari-jari kereta disatukan sebuah poros roda,
Namun kekosonganlah yang membuat kereta berguna.
Tanah liat dicetak dibuat bejana,
Namun kekosonganlah yang membuat bejana berguna.
Pintu, jendela ditatah melengkapi sebuah ruangan,
Namun kekosonganlah yang membuat ruangan berguna.
Maka:
Yang berwujud memberikan keuntungan,
Yang tidak berwujud memberikan kegunaan.

Pasal 12:

Lima warna membutakan mata;
Lima nada menulikan telinga;
Lima rasa merusak cita rasa;
Berbalapan dan berburu, liar angan pikiran dibuatnya;
Barang-barang berharga
sesatkan orang semata.
Karena itulah:
Sang Budiman cenderung bertindak dipandu nuraninya dan bukan penglihatannya.
Dia menerima yang ini dan menolak yang lainnya.

Pasal 13:

Berkah maupun kehinaan sama menakutkan.
Kemuliaan, seperti sang 'diri', akar segala derita.
Apa maksudnya berkah maupun kehinaan sama menakutkan?
Menerima berkah, muncul rasa takut.
Kehilangan berkah, juga menakutkan.
Inilah yang dimaksud dengan
berkah maupun kehinaan sama-sama menakutkan.
Apa maksudnyakemuliaan, seperti sang 'diri', akar segala derita?
Alasan mengapa saya menderita adalah karena adanya sang 'diri'.
Jika 'diri' tidak ada, siapa yang rasakan derita?
Oleh sebab itu:
Siapa yang menghargai dunia seperti penghargaan terhadap diri sendiri, dapat dipercaya mengatur dunia.
Siapa yang berpericinta-kasih, dapat dipercaya melayani dunia.

Pasal 14:


Dilihat tak kelihatan, maya maka ia dikata.
Didengar tak kedengaran, tak terdengar maka ia dikata.
Diraih tak teraba, tak teraba maka ia dikata.
Tak terjabarkan lebih lanjut ketiganya,
Dan telah menyatu dalam kesatuan yang Esa.
Tak menyilaukan dalam ketinggiannya.
Tak redup dalam kerendahannya.
Dalam, abadi, sulit melukiskannya.
Kembali lagi kesifatnya yang tak berwujud.
Disebut bentuk tanpa bentuk,
citra tanpa wujud.
Inilah kegaiban maha agung.
Lihatlah dari depan, tak terlihat awalnya.
Ikutilah, tak nampak akhirnya.
Pahamilah masa lalu,
Untuk mengelola saat ini, pegang eratlah Tao jaman dulu,
Inilah intisari Tao.

Pasal 15:


Para guru suci jaman dahulu,
Lembut, bijak, dan agung,
Keagungannya sulit dijajaki ,
Kita hanya bisa mengumpamakan mereka:
Hati-hati, laksana sedang menyeberangi sungai dimusim salju.
Waspada, laksana sedang dikepung musuh dari segala penjuru.
Santun, laksana seorang tamu.
Mengalah, laksana es yang mencair,
Polos, laksana balok belum diukir,
Merendah, laksana hamparan lembah,
Kabur, laksana air keruh berlumpur.
Siapa dapat menenangkan kekeruhan dan lambat-laun mendapat kejernihan?
Siapa dapat ciptakan kedamaian abadi sampai mendapat kemajuan?
Tanpa sifat serakah menjalani Tao.
Tanpa sifat serakah, kau akan mengalami kejenuhan tetapi kau akan selalu dicerahkan.

Pasal 16:


Capailah kekosongan yang hakiki,
Pertahankan kedamaian abadi.
Menyatu dengan semua mahluk,
Kulihat kembalinya,
Segala mahluk dalam ragam jenisnya,
Masing-masing kembali ke asalnya.
Kembali ke asalnya berarti damai sejahtera,
Artinya kembali kepada takdir dewata,
Kembali kepada sang takdir berarti keabadian,
Mengetahui sang Abadi berarti pencerahan.
Tidak mengenal sang Abadi menyongsong petaka.
Mengenal sang Abadi bersemi sifat mengayomi.
Sifat mengayomi semaikan keadilan budi.
Keadilan budi mengantar ke kemuliaan raja,
Kemuliaan raja semaikan kemuliaan surga,
Kemuliaan surga menghantarkan kepada Tao.
Tao menuntun ke jalan keabadian,
Walau badan mati membusuk diri,
Tetapi Tao tetaplah abadi.

Pasal 17:

Para pemimpin terbaik, tak disadari rakyat keberadaannya;
Tingkatan dibawahnya, dicintai dan dipuja rakyatnya;
Dibawahnya, ditakuti rakyatnya;
Paling rendah, dicela rakyatnya;
Siapa yang kurang bisa dipercaya, tidak akan dipercaya.
Bertindaklah dari jauh dan hargai kata-katamu.
Bereskan pekerjaan, dan biarkan orang-orang berkata,"Kami lakukan sendiri semuanya!"

Pasal 18:

Ketika jalan suci diingkari,
Muncul moralitas dan kebaikan hati.
Ketika timbul pengetahuan dan kepintaran,
Mengikuti namanya kemunafikan.
Ketika enam hubungan keluarga tak lagi serasi,
Tumbuhlah kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Ketika negara dalam kekacauan,
Segera bermunculan para pahlawan.

Pasal 19:


Kesampingkan kekudusan dan kearifan,
Rakyat 'kan mendapat seratus kali lipat manfaat.
Kesampingkan kebaikan dan kebajikan,
Rakyat 'kan kembali pada kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Buanglah akal bulus dan pamrih,
Maka tak ada lagi penyamun dan pencuri.
Tak cukuplah ketiga hal ini,
Rakyat masih perlu berbekal diri:
Tunjukkan kesederhanaanmu, peluk sifat alamimu,
Kurangi rasa egomu, batasi nafsumu.

Pasal 20:


Enyahkanlah belajar maka tiada lagi kecemasan.
Berapa beda antara ya dan tidak?
Berapa beda antara baik dan buruk?
Takutlah apa yang orang lain takuti.
Semua itu semakin membesar dan membesar tanpa batas!
Gembiralah semua orang,
di musim semi diatas paseban, seakan kenduri pesta kurban.
Diri sendiri lemah membisu, bak jabang bayi senyumpun belum mampu.
Merana tanpa rumah untuk kembali.
Melimpah-ruahlah orang lain dikata,
Awak sendiri bagai kehilangan segala.
Bak sidungu dan sitolol diri ini.
Cerah berserilah orang lain, Kusut masailah diri sendiri.
Cermat telitilah orang lain,
tak berpengharapannya diri ini.
Seperti lautlah sepintas lalu,
Mengapung sepanjang waktu.
Tujuan dikandung semua orang,
Bodoh dan rendahlah diri sendiri seorang.
Memang diri ini beda dibilang,
Aku dipelihara Bunda alam.

Pasal 21:

Inti kebajikan terbesar, hanya dari Tao dia berasal.
Tao, kabur dan samarlah dia.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung citra didalamnya.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung zat didalamnya.
Dalam kelembutan dan kedalamannya, daya hidup dikandungnya.
Dalam kemurnian daya hidup ini,
berisi pokok kebenaran hakiki.
Dari dulu hingga kini,
namanya tetap abadi.
Dalam meneliti segala ciptaan terjadi,
dengan jalan apa aku dapat memahami?
Dengan jalan ini.

Pasal 22:

Yang merendah akan disempurnakan,
Yang mengaku bengkok akan diluruskan,
Yang mengaku kosong akan dipenuhi,
Yang mengaku aus akan diperbarui,
Miliki sedikit, kau akan dicukupkan,
Milik berlebih akan membingungkan,
Maka Sang Budiman berpegang pada yang Satu dan jadi teladan di dunia ini.
Berseri, karena tak tonjolkan diri.
Terkemuka, karena tak benarkan diri sendiri.
Diakui, karena tak banggakan jasa pribadi.
Langgenglah posisi, karena tak merasa diri sendiri penting berarti.
Dengan sikap non kompetisi, tak ada yang akan menyaingi.
Maka kata leluhur kita, "Merendahlah dan kau akan dicerahi." Apakah hanya kata-kata kosong tanpa isi?
Mencapai kesempurnaan sejati, manakala kembali ke yang satu ini.

Pasal 23:

Tak banyak bicara itulah yang alami,
Angin topan tak terjadi sepanjang pagi,
Hujan lebat tak berlangsung sepanjang hari,
Siapa yang membuat hal itu terjadi?
Langit dan Bumi.
Jika Langit dan Bumi tak mampu membuat sesuatu abadi,
Manusia apalagi?
Siapa yang berpegang pada Tao menjadi satu dengan Tao,
Siapa berpegang pada Te menjadi satu dengan Te,
Siapa tinggalkan walau satu diantaranya kekalahanlah bagiannya.
Jika kau menyatu dengan Tao,
Tao menyambutmu dengan suka-cita.
Jika kau menyatu dengan Te,
Te menyambutmu dengan gembira.
Jika kau menyatu dengan si pecundang, para pecundang menyambutmu dengan girang.
Siapa kurang bisa dipercaya,
Tak akan dipercaya.

Pasal 24:

Yang berjingkat tak tegak berdiri;
Yang mengangkang tak dapat berjalan,
Yang tonjolkan diri tak berseri;
Yang benarkan diri sendiri tak dapat kemasyuran,
Yang membanggakan jasanya tak peroleh pengakuan.
Yang merasa diri sendiri penting tak'kan langgenglah posisi.
Kondisi tersebut, menurut Tao, laksana 'berlebih makan dan tindakan'.
Dunia tak tak hargai hal itu.
Maka pengikut Tao hindari selalu.

Pasal 25:

Ada sesuatu yang terbentuk dari kekacauan,
Telah ada sebelum langit dan bumi,
Diam dalam ketenangan,
Tak berubah dan mandiri,
Terus beredar tanpa henti.
Ialah ibu segala benda,
Ku tak tahu apa namanya,
Tao kusebut dia,
Jika dipaksakan memberinya nama,
"Agung", kunamakan dia.
Karena Agungnya seperti hanya melintas ia dikata,
Seperti melintas serasa jauh ia adanya,
Sejauh dikata, akhirnya kembali padanya.
Maka agunglah Tao,
Agunglah Langit dan Bumi,
dan agunglah juga manusia,
Di jagat raya ada empat yang agung,
manusia satu diantaranya.
Manusia dibentuk bumi,
Bumi dibentuk Langit,
Langit dibentuk Tao,
Tao dibentuk oleh sifatnya sendiri.

Pasal 26:

Berat adalah akar dari ringan,
Ketenangan tuan dari ketergesaan,
Maka Sang Budiman jika bepergian sepanjang hari, tak tinggalkan jauh kereta bagasi.
Meski dikelilingi pemandangan menarik hati,
Dia tetap jaga ketenangan diri,
Bagaimana jika seorang pemimpin terlalu lemah terhadap diri sendiri?
Jika lemah, hilang pokok yang terjadi,
Jika tergesa, hilang kekuasaan tak terhindari.

Pasal 27:

Pejalan yang baik tak tinggalkan jejak perjalanan,
Pembicara yang baik tak membuat kesalahan,
Penghitung yang baik tak perlukan sempoa,
Penutup pintu yang baik tak perlu palang dan grendel-kunci
dan yang ditutupnya tak dapat dibuka,
Pengikat yang baik tak perlukan tali dan yang diikatnya tak dapat dibuka,
Maka Sang Budiman selalu menolong orang dan tak seorangpun diabaikannya,
Selalu menolong sesama mahluk tanpa ada yang disia-siakannya,
'Mengikuti jalan yang bijak' inilah yang dikata,
Orang baik guru orang yang tidak baik,
Orang yang tidak baik merupakan bahan bagi orang baik,
Siapa yang tak menghargai gurunya,
Dan menyia-nyiakan bahannya,
Walau pandai, sesatlah dia.
Inilah rahasia maha utama.

Pasal 28:


Mengenali kejantanan,
Dan tetap kau jaga peran sifat lembut kewanitaan,
Kau 'kan menjadi jeram dunia.
Dengan menjadi jeram dunia,
"Te" yang abadi tak akan pernah pergi,
Kau akan kembali kedalam kemurnian seorang bayi,
Jika kau kenali kemurnianmu,
Dan tetap waspada akan kelemahanmu,
Kau akan jadi teladan dunia.
Dengan menjadi teladan dunia,
"Te" yang abadi tak pernah sesatkanmu,
Kau akan kembali ke alam asali nan abadi,
Jika kau kenali kemuliaanmu,
Dan tetap waspada akan sifat aibmu,
Kau akan jadi lembah dunia.
Dengan menjadi lembah dunia,
"Te" yang abadi akan disempurnakan.
Dan kembali menjadi laksana balok kayu kau diumpamakan.
Balok kayu diolah sempurnakan menjadi alat-alat.
Yang menghantarkan Sang Budiman menjadi pejabat,
Maka memerintah yang baik tidak dengan memecah-belah rakyat.

Pasal 29:


Ada yang ingin menguasai dunia
dan mengendalikan sesuai keinginannya,
Saya kira tak' kan berhasillah mereka.
Karena dunia adalah sesucinya bejana,
Tak tercipta untuk dibentuk manusia,
Ia yang membuat akan merusakkan,
Ia yang memiliki akan kehilangan,
Maka, inilah Hukum Alam yang abadi,
Beberapa memimpin, yang lain mengikuti,
Beberapa meniupkan panas, yang lain dingin,
Beberapa penuh, yang lain tak berisi.
Maka yang ekstrem, boros, dan berlebihan Sang Budiman hindari.

Pasal 30:

Mereka yang menggunakan Tao untuk membantu penguasa,
Janganlah menaklukkan dunia dengan kekuatan senjata,
Karena senjata akan memakan tuannya,
Ditempat pasukan ditempatkan,
Onak berduri akan dihasilkan,
Peperangan besar diikuti tahun-tahun penuh penderitaan.
Yang bijak, begitu berhasil, berhenti segera,
Dia tak berani gunakan kekuatan semata,
Dia berhasil tapi tak banggakan keberhasilannya,
Dia berhasil tapi tak banggakan pahalanya,
Dia berhasil tapi tak menyombongkan dirinya,
Dia berhasil tapi hanya karena tuntutan tugas semata,
Dia berhasil tanpa unjuk kebengisan dan kekuasaannya,
Ketika sesuatu mencapai puncaknya segera menurun sesudahnya,
Ini bukanlah Tao sesungguhnya,
yang bukan Tao cepat berakhir riwayatnya.

Pasal 31:

Betapa indahnya senjata, alat pembawa nasib buruk ia semata,
Semua mahluk membencinya,
Maka mereka yang memiliki Tao tidak menggunakannya,
Yang bijak, dalam keseharian, menghargai kiri sebagai tempat utama,
Saat perang, kanan tempatnya.
Senjata alat pembawa petaka, Bukan alat sang bijaksana.
Gunakan mereka jika pilihan lain tak ada,
Baiklah tetap tenang waspada.
Dalam kemenangan, janganlah gembira,
Karena gembira cermin kesukaan membantai sesama,
Jika gemar membunuh, takkan dicapai hidup yang penuh.
Dalam suasana bahagia, sisi kiri tempat utama.
Dalam suasana duka, sisi kanan tempatnya.
Dalam militer, wakil komandan disisi kiri posisinya,
Komandan tertinggi di sisi kanan tempatnya.
Mereka mengatur posisinya seakan menghadiri upacara bela sungkawa.
Ketika banyak orang binasa,
Haruslah mendalam orang berduka-nestapa,
Karena itu kemenangan dalam perang rayakanlah sebagai upacara duka cita.

Pasal 32:

Tao abadi dan tak bernama.
Meski nampak kecil dalam kesederhanaan alaminya,
Tak ada yang dapat memperhamba,
Jika para raja dan pangeran berpegang padanya,
Dunia akan tunduk dan setia.
Langit dan bumi berpadu,
Teteskan embun semanis madu,
Dan rakyat dalam kerukunan,
Walau tanpa petunjuk arahan.
Ketika sistem dibentuk, nama dan pangkat diciptakan.
Segera setelah nama dan kedudukan didapat,
Harus tahu kapan berhenti disaat yang tepat.
Dengan tahu kapan harus berhenti, kau akan selamat.
Keberadaan Tao didunia ini laksana aliran sungai bengawan menuju ke laut bahari.

Pasal 33:

Dikata pandai jika memahami orang lain,
Dikata bijak jika memahami diri sendiri.
Disebut berkuasa jika menaklukkan orang lain,
Disebut perkasa menaklukkan diri sendiri.
Tahu kapan merasa cukup sungguhlah kaya.
Yang gigih memiliki ketetapan hati,
Yang menjaga posisinya yang lama bertahan,
Mati dan tak dilupakan, sungguhlah hidup abadi.

Pasal 34:

Tao yang agung mengalir kemana-mana,
Baik disebelah kiri atau kanan ia ada.
Hidup semua benda tergantung padanya dan dia tak menolaknya.
Dia laksanakan tugasnya dengan tak mengejar nama.
Memelihara semua mahluk dengan tak bertindak sebagai tuannya.
Selalu tanpa keinginan, maka ia bisa dinamakan 'Kecil'.
Semua ciptaan berpulang kepadanya, dan dia tak bertindak sebagai tuannya.
Ia bisa dinamakan 'Besar'.
Karena tidak menonjolkan keagungannya,
maka ia menjadi besar dan agung yang sesungguhnya.

Pasal 35:

Berpegang kuatlah pada citra agung (dari Tao),
dan dunia akan mengikutimu,
Mengikutimu tanpa kesulitan,
aman dan damai.dalam kebahagiaan
Musik dan makanan lezat,
membuat pelalu-lalang berhenti untuk menikmati.
Ketika dengan mulut Tao diucapkan ,
tanpa rasa dan hampar ia dirasakan.
Carilah, ia tak terlihat,
Dengarlah, ia tak terdengar,
Gunakanlah, ia tak ada habisnya.

Pasal 36:

Tao yang kekal bertindak tanpa tindakan,
tetapi tak ada sesuatupun yang tak dikerjakan.
Jika para raja dan pangeran dapat berpegang padanya,
Semua benda akan bertransformasi dengan sendirinya.
Jika setelah tranformasi, timbul nafsu keinginan,
Dengan kesederhanaan alami tanpa nama akan kuatasinya .
Kesederhanaan alami tanpa nama berarti bebas nafsu keinginan.
Dengan bebas nafsu keinginan buahkan damai kesentosaan,
Maka ketertiban dan kedamaian langit bumi akan terwujudkan.

Syair cinta

Dari cinta kita berasal

karena cinta Dia menciptakan kita

atas nama cinta kita menghadap Nya

karena cinta pula kita mendekati Nya

21 Februari, 2008

Kidung Rumeksa Ing Wengi (karya sunan kalijaga)

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal



Terjemahan dalam bahasa indonesia:

Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas
dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun
tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat.
guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
Segala bahaya akan lenyap.

Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.

Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman
menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi
rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku.
Sedangkan Usman sebagai tulangku.

Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai
kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh
didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi
Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka
lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.

Pesan untuk Bangsa

Jika sebuah bangsa hanya memperhatikan harta,

mengabaikan cita-cita,

maka bangsa itu bukanlah bangsa yang besar.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang hidup dengan cita-cita,

memelihara jiwa sekaligus raganya.

Tetapi harta bukanlah yang utama.

Sebab bukanlah harta yang memerdekakan bangsa dan rakyat kita,

melainkan jiwa, sekali lagi jiwa kita yang membaja,

semangat kita yang membara yang membawa kita semua ke dalam kemerdekaan,

maka Bangunlah Jiwa Rakyat Indonesia,

Bangunlah Badannya untuk Indonesia Jaya


"Ir soekarno"

19 Februari, 2008

Jurus-Jurus Sun Tzu

JURUS-JURUS SUN TZU (ditulis ulang oleh MICHAELSON bersaudara, diterjemahkan dan diedit oleh Keluarga SAPUTRA, 2004):

Ketika itu SUN TZU dipanggil untuk menghadap RAJA WU, berkenaan dengan bukunya “The Art of War” (SENI PERANG). Raja Wu sudah membaca ketiga belas Bab bukunya secara keseluruhan, dan sang Raja pun INGIN Sun Tzu untuk UJI TEORI dalam MENGELOLA PRAJURIT.

ATAS SEIJIN Raja Wu, Sun Tzu mengatur 180 wanita cantik dibawa dari istana. Sun Tzu MEMBAGI mereka menjadi 2 KELOMPOK. Masing-masing kelompok dikepalai oleh kedua selir KESAYANGAN RAJA.

Lalu mereka diberi tombak dan Sun Tzu berkata: “Saya asumsikan anda semua tahu BEDAnya DEPAN dan BELAKANG, KIRI dan KANAN, bukan?” Dan, para wanita itu pun menjawab, “TAHU”. Sun Tzu pun melanjutkan: “Ketika ditimpali suara genderang, saya perintahkan ‘mata ke depan’, pandanglah ke depan.....”.

Setelah Sun Tzu menjelaskan komandonya secara GAMBLANG dan para wanita itu setuju bahwa mereka sudah memahaminya. Ketika latihan dimulai dan genderang dibunyikan, dan para wanita itu HANYA TERTAWA, TIDAK SATU PUN yang menjalankan KOMANDOnya. DENGAN SABAR Sun Tzu berkata, ”Kalau PERINTAH dan KOMANDOnya TIDAK JELAS, kalau perintahnya TIDAK DIPAHAMI BETUL, SANG JENDRAL lah yang SALAH”.

Lalu diulangi penjelasannya beberapa kali, tapi ketika genderang dibunyikan untuk mensinyalkan ‘menghadap ke kiri’ masih juga para wanita tersebut itu tertawa. Kemudian Sun Tzu menyatakan bahwa jika KOMANDO sudah JELAS dan PARA PRAJURIT tidak TAAT, MAKA yang BERSALAH adalah PEMIMPIN KELOMPOKnya. Maka Sun Tzu pun memerintahkan agar kedua selir (pemimpin kelompok) kesayangan raja itu dipancung. RAJA WU TIDAK TEGA melihat kedua selir KESAYANGANNYA akan DIHUKUM MATI dan MEMBELAnya.

Tapi, Sun Tzu menjawab, ”SETELAH MENERIMA PERINTAH dari sang PENGUASA untuk MEMIMPIN serta MENGARAHKAN PASUKAN, ADA PERINTAH TERTENTU yang TIDAK BISA saya TERIMA”. Sun Tzu langsung menyuruh kedua selir Raja Wu tersebut di pancung SEBAGAI CONTOH dan menunjuk dua orang penggantinya. Para wanita itu BERLATIH dengan PRESISI TINGGI tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Sun Tzu on The Art of War

36 Strategi adalah sebuah koleksi sajak Tiongkok yang mengulas taktik-taktik kemiliteran.




Strategi 1

"瞞天過海" (man2 tian1 guo4 hai3)- Perdaya Langit untuk melewati Samudera.

Bergerak di kegelapan dan bayang-bayang, menggunakan tempat-tempat tersembunyi, atau bersembunyi di belakang layar hanya akan menarik kecurigaan. Untuk memperlemah pertahanan musuh anda harus bertindak di tempat terbuka menyembunyikan maksud tersembunyi anda dengan aktivitas biasa sehari-hari.

Strategi 2

"圍魏救趙" (wei2 wei4 jiu4 zhao4)- Kepung Wei untuk menyelamatkan Zhao.

Ketika musuh terlalu kuat untuk diserang, seranglah sesuatu yang berharga yang dimilikinya. Ketahui bahwa musuh tidak selalu kuat di semua hal. Entah dimana, pasti ada celah di antara senjatanya, kelemahan pasti dapat diserang. Dengan kata lain, anda dapat menyerang sesuatu yang berhubungan atau dianggap berharga oleh musuh untuk melemahkannya secara psikologis.

Strategi 3

"借刀殺人" (jie4 dao1 sha1 ren2)- Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. (Bunuh dengan pisau pinjaman.)

Serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain (karena kekuatan yang minim atau tidak ingin menggunakan kekuatan sendiri). Perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok aparat musuh untuk menjadi penghianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri.

Strategi 4

"以逸待勞" - Buat musuh kelelahan sambil menghemat tenaga.

Adalah sebuah keuntungan, merencanakan waktu dan tempat pertempuran. Dengan cara ini, anda akan tahu kapan dan di mana pertempuran akan berlangsung, sementara musuh anda tidak. Dorong musuh anda untuk menggunakan tenaga secara sia-sia sambil anda mengumpulkan/menghemat tenaga. Saat ia lelah dan bingung, anda dapat menyerangnya.

Strategi 5

" 趁火打劫"(cheng4 huo3 da3 jie2) - Gunakan kesempatan saat terjadi kebakaran untuk merampok lainnya. (Merampok sebuah rumah yang terbakar.)

Saat sebuah negara mengalami konflik internal, ketika terjangkit penyakit dan kelaparan, ketika korupsi dan kejahatan merajalela, maka ia tidak akan bisa menghadapi ancaman dari luar. Inilah waktunya untuk menyerang.

Strategi 6

"聲東擊西"(sheng1 dong1 ji1 xi1) - Berpura-pura menyerang dari timur dan menyeranglah dari barat.

Pada tiap pertempuran, elemen dari sebuah kejutan dapat menghasilkan keuntungan ganda. Bahkan ketika berhadapan langsung dengan musuh, kejutan masih dapat digunakan dengan melakukan penyerangan saat mereka lengah. Untuk melakukannya, anda harus membuat perkiraan akan apa yang ada dalam benak musuh melalui sebuah tipu daya.

Bab 2 <>

Strategi 7

"無中生有"(wu2 zhong1 sheng1 you3) - Buatlah sesuatu untuk hal kosong.

Anda menggunakan tipu daya yang sama dua kali. Setelah breaksi terhadap tipuan pertama dan –biasanya- kedua, musuh akan ragu-ragu untuk bereaksi pada tipuan yang ketiga. OLeh karenanya, tipuan ketiga adalah serangan sebenarnya untuk menangkap musuh saat pertahanannya lemah.

Strategi 8

" 暗渡陳倉"(an4 du4 chen2 chang1) - Secara rahasia pergunakan lintasan Chen Chang. (Perbaiki jalan utama untuk mengambil jalan lain.) contoh: invasi Sekutu di Normandia dan muslihat Pas de Calais.

Serang musuh dengan dua kekuatan konvergen. Yang pertama adalah serangan langsung, sesuatu yang sangat jelas dan membuat musuh mempersiapkan pertahanannya. Yang kedua secara tidak langsung, sebuah serangan yang menakutkan, musuh tidak mengira dan membagi kekuatannya sehingga pada saat-saat terakhir mengalami kebingungan dan kemalangan.

Strategi 9

"隔岸觀火"(ge4 an4 guan1 huo3) - Pantau api yang terbakar sepanjang sungai.

Tunda untuk memasuki wilayah pertempuran sampai seluruh pihak yang bertikai mengalami kelelahan akibat pertempuran yang terjadi antar mereka. Kemudian serang dengan kekuatan penuh dan habiskan.

Strategi 10

"笑裏藏刀"(xiao4 li4 chang2 dao1) - Pisau tersarung dalam senyum.

Puji dan jilat musuh anda. Ketika anda mendapat kepercayaan darinya, anda bergerak melawannya secara rahasia.

Strategi 11

"李代桃僵" - Pohon prem berkorban untuk pohon persik. (Mengorbankan perak untuk mempertahankan emas.)

Ada suatu keadaan dimana anda harus mengorbankan tujuan jangka pendek untuk mendapatkan tujuan jangka panjang. Ini adalah strategi kambing hitam dimana seseorang akan dikorbankan untuk menyelamatkan yang lain.

Strategi 12

"順手牽羊"(shun4 shou3 qian1 yang2) - Mencuri kambing sepanjang perjalanan (Ambil kesempatan untuk mencuri kambing.)

Sementara tetap berpegang pada rencana, anda harus cukup fleksibel untuk mengambil keuntungan dari tiap kesempatan yang ada sekecil apapun.

Bab 3 <>

Strategi 13

"打草驚蛇"(da2 cao3 jing1 she2) - Kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya.

Ketika anda tidak mengetahui rencana lawan secara jelas, serang dan pelajari reaksi lawan. Perilakunya akan membongkar strateginya.

Strategi 14

"借屍還魂"(jie4 shi1 huan2 hun2) - Pinjam mayat orang lain untuk menghidupkan kembali jiwanya. (Menghidupkan kembali orang mati.)

Ambil sebuah lembaga, teknologi, atau sebuah metode yang telah dilupakan atau tidak digunakan lagi dan gunakan untuk kepentingan diri sendiri. Hidupkan kembali sesuatu dari masa lalu dengan memberinya tujuan baru atau terjemahkan kembali, dan bawa ide-ide lama, kebiasaan, dan tradisi ke kehidupan sehari-hari.

Strategi 15

"調虎離山"(diao4 hu3 li2 san2) - Giring macan untuk meninggalkan sarangnya.

Jangan pernah menyerang secara langsung musuh yang memiliki keunggulan akibat posisinya yang baik. Giring mereka untuk meninggalkan sarangnya sehingga mereka akan terjauh dari sumber kekuatannya.

Strategi 16

"欲擒姑縱" - Pada saat menangkap, lepaslah satu orang.

Mangsa yang tersudut biasanya akan menyerang secara membabi buta. Untuk mencegah hal ini, biarkan musuh percaya bahwa masih ada kesempatan untuk bebas. Hasrat mereka untuk menyerang akan teredam dengan keinginan untuk melarikan diri. Ketika pada akhirnya kebebasan yang mereka inginkan tersebut tak terbukti, moral musuh akan jatuh dan mereka akan menyerah tanpa perlawanan.

Strategi 17

"拋磚引玉" - Melempar Batu Bata untuk mendapatkan Giok.

Persiapkan sebuah jebakan dan perdaya musuh anda dengan umpan. Dalam perang, umpan adalah ilusi atas sebuah kesempatan untuk memperoleh hasil. Dalam keseharian, umpan adalah ilusi atas kekayaan, kekuasaan, dan sex.

Strategi 18

"擒賊擒王" - Kalahkan mush dengan menangkap pemimpinnya.

Jika tentara musuh kuat tetapi dipimpin oleh komandan yang mengandalkan uang dan ancaman, maka ambil pemimpinnya. Jika komandan mati atau tertangkap maka sisa pasukannya akan terpecah belah atau akan lari ke pihak anda. Akan tetapi jika pasukan terikat atas sebuah loyalitas terhadap pimpinannya, maka berhati-hatilah, pasukan akan dapat melanjutkan perlawanan dengan motivasi balas dendam.

Bab 4 <>

Strategi 19

"釜底抽薪" - Jauhkan kayu bakar dari tungku masak. (Lepaskan pegangan kayu dari kapaknya.)

Ketika berhadapan dengan musuh yang sangat kuat untuk menghadapinya secara langsung anda harus melemahkannya dengan meruntuhkan pondasinya dan menyerang sumberdayanya.

Strategi 20

"混水摸魚" - Memancing di air keruh.

Sebelum menghadapi pasukan musuh, buatlah sebuah kekacauan untuk memperlemah persepsi dan pertimbangan mereka. Buatlah sesuatu yang tidak biasa, aneh, dan tak terpikirkan sehingga menimbulkan kecurigaan musuh dan mengacaukan pikirannya. Musuh yang bingung akan lebih mudah untuk diserang.

Strategi 21

"金蟬脱殼" - Lepaskan kulit serangga. (Penampakan yang salah menipu musuh.)

Ketika anda dalam keadaan tersudut, dan anda hanya memiliki kesempatan untuk melarikan diri dan harus mengonsolidasi kelompok, buatlah sebuah ilusi. Sementara perhatian musuh terfokus atas muslihat yang anda lakukan, pindahkan pasukan anda secara rahasia di belakang muka anda yang terlihat.

Strategi 22

"關門捉賊" - Tutup pintu untuk menangkap pencuri.

Jika anda memiliki kesempatan untuk menangkap seluruh musuh maka lakukanlah, sehingga dengan demikian pertempuran akan segera berakhir. Membiarkan musuh untuk lepas akan menanam bibit dari konflik baru. Akan tetapi jika mereka berhasil melarikan diri, berhati-hatilah dalam melakukan pengejaran.

Strategi 23

"遠交近攻" - Berteman dengan negara jauh dan serang negara tetangga.

Jamak diketahui bahwa negara yang berbatasan satu sama lain menjadi musuh sementara negara yang terpisah jauh merupakan sekutu yang baik. Ketika anda adalah yang terkuat di sebuah wilayah, ancaman terbesar adalah dari terkuat kedua di wilayah tersebut, bukan dari yang terkuat di wilayah lain.

Strategi 24

"假道伐虢" - Cari lintasan aman untuk menjajah Kerajaan Guo.

Pinjam sumberdaya sekutu untuk menyerang musuh bersama. Sesudah musuh dikalahkan, gunakan sumberdaya tersebut untuk menempatkan sekutu anda pada posisi pertama –untuk diserang-.

Bab 5 <>

Strategy 25

"偷梁換柱" - Gantikan balok dengan kayu jelek.

Kacaukan formasi musuh, ganggu metode operasinya, ubah aturan-aturan yang digunakannya, buatlah sebuah hal yang berlawanan dengan latihan standarnya. Dengan cara ini anda telah meruntuhkan tiang-tiang pendukung yang dibutuhkan oleh musuh dalam membangun pasukan yang efektif.

Strategi 26

"指桑罵槐" – Lihat pada pohon murbei dan ganggu ulatnya.

Untuk mendisiplinkan, mengontrol, dan mengingatkan suatu pihak yang status atau posisinya di luar konfrontasi langsung; gunakan analogi atau sindiran. Tanpa langsung menyebut nama, pihak yang tertuduh tidak akan dapat memukul balik tanpa keberpihakan yang jelas.

Strategi 27

"假痴不癲" – Pura-pura menjadi seekor babi untuk memakan macan. (Bergaya bodoh.)

Sembunyi di balik topeng ketololan, mabuk, atau gila untuk menciptakan kebingungan atas tujuan dan motivasi anda. Giring lawan anda ke dalam sikap meremehkan kemampuan anda sampai pada akhirnya terlalu yakin akan diri sendiri sehingga menurunkan level pertahanannya. Pada situasi ini anda dapat menyerangnya.

Strategi 28

"上屋抽梯" – Jauhkan tangga ketika musuh telah sampai di atas (Seberangi sungai dan hancurkan jembatan.)

Dengan umpan dan tipu muslihat giring musuh anda ke dalam daerah berbahaya. Kemudian putus jalur komunikasi dan jalan untuk melarikan diri. Untuk menyelamatkan dirinya, dia harus bertarung dengan kekuatan anda dan sekaligus elemen alam.

Strategi 29

"樹上開花" – Hias pohon dengan bunga palsu.

Menempelkan kembang sutera di atas pohon memberikan sebuah ilusi bahwa pohon tersebut sehat. Dengan menggunakan muslihat dan penyamaran akan membuat sesuatu yang tak berarti tampak berharga; tak mengancam kelihatan berbahaya; bukan apa-apa kelihatan berguna.

Strategi 30

"反客為主" – Buat tuan rumah dan tamu bertukar tempat.

Kalahkan musuh dari dalam dengan menyusup ke dalam benteng lawan di bawah muslihat kerjasama, penyerahan diri, atau perjanjian damai. Dengan cara ini anda akan menemukan kelemahan dan kemudian saat pasukan musuh sedang beristirahat, serang secara langsung ke jantung pertahanannya.

Bab 6 <>

Strategi 31 "美人計" – Jebakan indah. (jebakan bujuk rayu, gunakan seorang perempuan untuk menjebak seorang laki-laki.)

Kirim musuh anda perempuan-perempuan cantik yang akan menyebabkan perselisihan di basis pertahanannya. Strategi ini dapat bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, penguasa akan terpesona oleh kecantikannya sehingga akan melalaikan tugasnya dan tingkat kewaspadaannya akan menurun. Kedua, para laki-laki akan menunjukkan sikap agresifnya yang akan menyulut perselisihan kecil di antara mereka, menyebabkan lemahnya kerjasama dan jatuhnya semangat. Ketiga, para perempuan akan termotivasi oleh rasa cemburu dan iri, sehingga akan membuat intrik yang pada gilirannya akan semakin memperburuk situasi.

Strategi 32

" 空城計" – Kosongkan benteng. (Jebakan psikologis, benteng yang kosong akan membuat musuh berpikir bahwa benteng tersebut penuh dengan jebakan.)

Ketika musuh kuat dalam segi jumlah dan situasinya tidak menuntungkan bagi diri anda, maka tanggalkan seluruh muslihat militer dan bertindaklah seperti biasa. Jika musuh tidak mengetahui secara pasti situasi anda, tindakan yang tidak biasanya ini akan meningkatkan kewaspadaan. Dengan sebuah keberuntungan, musuh akan mengendorkan serangan.

Strategi 33

" 反間計" – Biarkan mata-mata musuh menyebarkan konflik di wilayah pertahanannya. (Gunakan mata-mata musuh untuk menyebarkan informasi palsu.)

Perlemah kemampuan tempur musuh anda dengan secara diam-diam membuat konflik antara musuh dan teman, sekutu, penasihat, komandan, prajurit, dan rakyatnya. Sementara ia sibuk untuk menyelesaikan konflik internalnya, kemampuan tempur dan bertahannya akan melemah.

Strategi 34

"苦肉計" – Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. (Masuk pada jebakan; jadilah umpan.)

Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman.

Strategi 35

"連環計" – Ikat seluruh kapal musuh secara bersamaan (Jangan pernah bergantung pada satu strategi.)

Dalam hal-hal penting, seseorang harus menggunakan beberapa strategi yang dijalankan secara simultan. Tetap berpegang pada rencana berbeda-beda yang dijalankan pada sebuah skema besar; dengan cara ini, jika satu strategi gagal, anda masih memiliki beberapa strategi untuk tetap maju.

Strategi 36

"走為上策"

Selain dari semua hal di atas, salah satu yang paling dikenal adalah strategi ke 36: lari untuk bertempur di lain waktu. Hal ini diabadikan dalam bentuk peribahasa Cina:

Jika seluruhnya gagal, mundur” - ”三十六計,走為上策“

Jika keadaannya jelas bahwa seluruh rencana aksi anda akan mengalami kegagalan, mundurlah dan konsolidasi pasukan. Ketika pihak anda mengalami kekalahan hanya ada tiga pilihan: menyerah, kompromi, atau melarikan diri. Menyerah adalah kekalahan total, kompromi adalah setengah kalah, tapi melarikan diri bukanlah sebuah kekalahan. Selama anda tidak kalah, anda masih memiliki sebuah kesempatan untuk menang!

"Diperoleh dan diedit dari "http://id.wikisource.org/wiki/36_Strategi"

14 Februari, 2008

KEMLADHEYAN NGAJAK SEMPAL

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti benalu mengajak patah. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk petuah atau sindiran bagi orang yang menumpang pada seseorang, namun orang yang menumpang itu justru menimbulkan gangguan, kerugian, dan bahkan kebangkrutan bagi yang ditumpanginya.

Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang ditumpanginya untuk patah.

Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang yang punya rumah induk justru terusir karenanya.

Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur urusan rumah tangganya.

Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami kebangkrutan atauy bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya,

SAPA NANDUR BAKAL NGUNDHUH

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa menanam akan menuai. Secara luas pepatah ini berarti bahwa apa pun yang kita perbuat di dunia ini akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat. Ibarat orang menanam pohon pisang, ia pun akan menuai pisang di kemudian hari. Jika ia menanam salak ia pun akan menuai salak di kemudian hari.

Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.

Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan “mematikan” orang lain, bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari. Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.

Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya barangkali bisa sama.

Demikian makna pepatah yang masih banyak diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa ini.

AMEMAYU HAYUNING BUWANA


Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.

Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.

Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.

WANI NGALAH LUHUR WEKASANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.

GUSTI ALLAHE DHUWIT, NABINE JARIT

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti Gusti Allahnya uang, nabinya kain. Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan orang yang hidupnya hanya memburu uang atau harta benda, kemewahan, dan kenikmatan. Sehingga yang ada di dalam otak dan hatinya hanyalah bagaimana mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan hidup itu. Bahkan untuk mendapatkan itu semua ia rela melupakan segalanya. Baik itu etika, moral, kebajikan, dan seterusnya. Tidak ada halangan apa pun sejauh itu semua ditujukan untuk mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan. Artinya, uang, kemewahan, dan kenikmatan adalah segala-galanya.

Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.

KEBO NYUSU GUDEL

Pepatah tersebut di atas secara harfiah berarti kerbau menyusu gudel. Gudel adalah nama anak kerbau. Jadi pepatah itu menunjukkan sebuah logika yang terbalik atau dibalik.

Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya. Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.

KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung.

Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau ibu rumah tangga).

Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.

Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan sebagainya).

GUPAK PULUTE ORA MANGAN NANGKANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tidak makan nangkanya tetapi terkena getahnya. Secara luas pepatah Jawa ini ingin menunjukkan sebuah peristiwa atau kiasan yang menggambarkan akan kesialan seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko buruknya.

Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.

Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu. Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang dengan merdeka seperti tanpa dosa.

GELEM JAMURE EMOH WATANGE

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau jamurnya tidak mau bangkainya.

Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor, takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh yang tidak berkelas, dan sebagainya.

Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang lain.

Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak, ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.

KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.

Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.

Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau pengetahuannya masih sedikit/dangkal.

SAPA GAWE BAKAL NGANGGO

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut bermakna bahwa siapa pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya, bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan bertanggung jawab.

Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan mungkin kepada famili dan keturunannya.

Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan menerima akibat atau resikonya.

TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon) jarak menjadi banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan. Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang induknya.

Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).

Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.

ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA

Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh atau garus keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.

Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.

Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.

Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.

Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).

Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.

Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.

ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN

Pepatah Jawa tersebut secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat tidak senggolan. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan keberadaan kekasih atau Tuhan.

Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.

Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh, seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.

SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).

Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.

Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.

NABOK NYILIH TANGAN

Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena “pukul” itu.

Ketika orang yang “dituju” dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.

AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA

Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.

Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.

Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.

Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.

Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.

ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri. Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu ajal belaka.

Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.

TUNA SATAK BATHI SANAK

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.

Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur ‘saudara’ atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).

Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur ‘menyaudara’ dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.

Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel ‘sungkan/enggan’ memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).

Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.

ASU BELANG KALUNG WANG

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.

Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.

Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.

Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).

NGUNDHUH WOHING PAKARTI

Peribahasa di atas secara harfiah berarti memanen buah pekerjaan/tindakan. Secara luas peribahasa ini ingin mengajarkan tentang orang yang menuai dari buah tindakannya sendiri. Hal ini dapat dicontohkan misalnya karena seseorang selalu mencelakai atau merugikan orang lain, maka pada suatu ketika ia pun akan diperlakukan demikian pula oleh orang lain.

Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan keturunannya.

NULUNG MENTHUNG

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti menolong mementhung. Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang perilaku orang yang kelihatannya nulung (menolong), namun sesungguhnya ia mementung (memukul/mencelakai) orang yang ditolongnya itu.

Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.

Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan dan bahkan oleh teman yang lainnya.

Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan. Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya belaka.

ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI

Pepatah Jawa di atas berarti kehilangan satu telur. Pepatah Jawa ini secara luas ingin menyatakan tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang (biasanya orang tua) atas perilaku anaknya yang dianggap sudah di luar batas.

Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa ditolong lagi tersebut.

Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah direlakannya hilang.

NAPAKAKE ANAK PUTU

Pepatah Jawa di atas secar harfiah berarti bertapa untuk anak cucu. Napakake berasal dari kata tapa atau bertapa. Napakake berarti bertapa untuk.

Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bertapa (laku prihatin).

Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih. Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.

Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan. Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.

Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.

KAYA NGENTENI THUKULE JAMUR ING MANGSA KETIGA

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau.

Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas (mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban. Kelembaban tidak berkait erat dengan air.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun. Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.

Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak berjuntrung.

WIT GEDHANG AWOH PAKEL


Pepatah Jawa di atas secara harfiah diartikan ‘pohon pisang berbuah pakel’ (sejenis mangga yang sangat harum aromanya jika matang namun agak asam rasanya).

Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.

Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan, mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat, petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan yang dipandang baik dan benar itu.

Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni angel ‘omong mudah melaksanakan sulit’.

KAYA NGENTENI KEREME PRAU GABUS, KUMAMBANGE WATU ITEM

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti seperti menantikan tenggelamnya perahu gabus, mengapungnya batu hitam (batu kali).

Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak muskil untuk muncul ke permukaan air.

Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.

Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus, kumambange watu item.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya.

Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu.

Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun anak buahnya.

Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.

Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.

Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.

KUTUK MARANI SUNDUK


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti kutuk (jenis ikan air tawar yang relatif besar) mendekati sunduk (penusuk/suji). Secara luas pepatah ini ingin menyatakan tentang kejadian atau peristiwa dari seseorang atau sekelompok orang yang mendatangi atau mendekati bahaya atau hal yang dapat membuatnya celaka.

Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi marabahaya.

MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti diam-diam mengantongi kreneng. Kreneng dalam khasanah Jawa menunjuk pada pengertian sebuah benda menyerupai keranjang yang terbuat dari bilah bamboo yang diraut tipis dan lentur. Kreneng ini berfungsi untuk membungkus atau mewadahi barang-barang belanjaan yang dibawa oleh seseorang. Umumnya kreneng berfungsi sebagai kantong atau tas sementara yang kemudian bisa dibuang begitu saja setelah barang yang berada di dalamnya dikeluarkan.

Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.

DIJUPUK IWAKE AJA NGANTI BUTHEG BANYUNE

Pepatah di atas secara harfiah berarti diambil ikannya jangan sampai keruh airnya.

Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau butek.

Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun. Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.

Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega. Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko.

Tiga Harta

"Saya memiliki tiga harta.

Jaga dan peliharalah:

cinta yang dalam,

kesederhanaan,

ketidakberanian memenangkan dunia.

Dengan cinta yang dalam, seseorang akan jadi pemberani.

Dengan kesederhanaan, seseorang akan menjadi dermawan.

Dengan ketidakberanian memenangkan dunia,

seseorang akan menjadi pemimpin dunia."



Lao-tzu, (Filsuf China)

11 Februari, 2008

Filosofi Air

Suatu ketika Sultan Hamengku Buwono X pernah mengatakan bahwa kalau ingin jadi pemimpin yang benar-benar demokratis harus mempunyai sifat baik seperti yang dipunyai oleh air.

Air mempunyai sifat empat perkara: Ketika dalam keadaan normal, air mempunyai sifat yang biasa tenang. Dan tidak pernah menghancurkan atau menyingkirkan benda-benda yang menghalangi arusnya. Malah kalau ada batu atau pohon air senantiasa menghindarinya. Dengan amat ‘luwes’, air itu melewati halangan tanpa adanya kurban, walaupun tujuannya sampai. Seolah-olah air tak mempunyai kekuatan, tak berdaya. Tetapi sesungguhnya di situ tersimpan kekuatan yang maha dahsyat.

Kedua, lautan seperti lebih berkuasa daripada sungai, lantaran airnya lebih banyak.

Tetapi yang mengherankan, air lautan itu berada di bawah sungai, dan sungai berada di bawah mata air. Ini mengandung makna bahwa legitimasi kekuasaan itu berawal dari sikap yang ‘andhap asor’ dan siap melayani rakyatnya. Semua itu membawa imbalan, karena air sungai itu semua mengalir ke samudera.

Sifat air lainnya adalah bisa untuk bercermin. Artinya pemimpin harus mempunyai sikap dan tindak yang baik -Laku utama- supaya bisa dicontoh oleh rakyatnya.

Pemimpin harus bisa bercermin kepada rakyatnya. Air juga mempunyai sifat mengalir ke bawah. Artinya mencari masalah yang paling dasar dan penting.

Di tengah masyarakat agung, diwujudkan dengan rasa cinta terhadap sesama hidup. Sejarah mencatat, tokoh-tokoh besar dunia maupun nasional pasti mempunyai cinta kasih dan hormat terhadap sesama hidup. Penguasa mempunyai kewajiban jadi pengayom dan ‘pengayem’-penjaga ketenteraman masyarakat kecil.

Dengan demikian bisa diartikan pula bahwa air merupakan ungkapan rasa manusia. Air perlambang rasa yang hidup. Oleh karena itu ada semacam ungkapan Jawa atau aromisma yang mengatakan bahwa “kalamun harsa sumurup urubing tirta, gondhelana talining mega”. Ini hanya akan mengungkap masalah rasa manusia yang bisa hidup kalau manusia mampu mengendalikan hawa nafsu. Mega dilambangkan sebagai nafsu yang terus bergelora.

Itulah mengapa nenek moyang kita dulu menamai nama-nama kota seperti Banyumas, Banyuwangi sebagai sebuah harapan dan tujuan bahwa penduduknya agar sadar bahwa rasa harus senantiasa diasah, dilatih agar bersinar dan tajam bahkan bisa mewujudkan keharuman nama.

Belum lagi kalau manusia ingin mencapai kesempurnaan hidup, yang dikejar hanyalah pertautan antara ‘laut dan langit’, laku utama-laku keutamaan dan ‘Laladan lungit’ wilayah sakral kejiwaan.

Di dalam pemahaman ini laut mengibaratkan kesabaran yang tinggi yang selalu memuat luapan air kali dari mana pun. Dan uniknya segala sampah disingkirkan ke tepi. Jadi kalau kita melihat laut yang ada hanyalah kilauan kebersihan. Ini menunjukkan bahwa jiwa manusia haruslah seperti jiwa laut yang menyingkirkan segenap sampah kehidupan ke tepi. Laut wujud dari cermin kehidupan untuk menggalang laku keutamaan. Keselarasan, keindahan dan kebaikan yang tercermin. Sementara langit yang dimaksudkan di sini adalah ‘laladan lungit’, wilayah pemahaman yang sangat pribadi dalam kehidupan manusia. Wilayah ini sangat sulit untuk dipahami bersama secara umum. Biasanya dipahami dalam bentuk pribadi personal yang khas. Oleh karena itulah manusia Jawa sering mengatakan ‘nora golek kasampurnaning urip, ananging ngupaya urip kang sampurna’. Sebab hidup sendiri sudah tidak sempurna. Manusia telanjur terpatrikan dengan sifat, ‘lali, luput lan apes’. Lupa, salah dan sial. Oleh karena itulah untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat sebagai laku keutamaan manusia Jawa hanya mengandalkan laku keutamaan dengan semangat menebarkan keharuman nama. ‘Nyebar ganda arum’-ngeksi ganda. Sebab hidup manusia di dunia ini kalau dicermati hanyalah memberikan bukti kebaikan-aweh bukti becik-terhadap sesama hidup.

10 Februari, 2008

1
INI GURINDAAM PASAL YANG PERTAMA
Barang siapa tiada memegang agama
Segala-gala tiada boleh dibilang nama
Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri
Barang siapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terpedaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat

2
INI GURINDAM PASAL YANG KEDUA
Barang siapa mengenal yang tersebut
Tahulah ia makna takut
Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang
Barang siapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa
Barang siapa meninggalkan zakat
Tiadalah hartanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji
Tiadalah ia menyempurnakan janji

3
INI GURINDAM PASAL YANG KETIGA
Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita
Apabila terpelihara kuping
Khabar yang jahat tiadalah damping
Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
Daripada segala berat dan ringan
Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh
Anggota tengah hendaklah ingat
Di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi

4
INI GURINDAM PASAL YANG KEEMPAT
Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggota tubuh pun rubuh
Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah daripadanya beberapa anak panah
Mengumpat dam memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir
Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala
Jika sedikitpun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka
Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perompak yang amat gagah
Barang siapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya membuat kasar
Barang siapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketor
Di manakah salah diri
Jika tidak orang lain yang berperi
Pekerjaan takbur jangan direpih
Sebelum mati didapat juga sepih

5
INI GURINDAM PASAL YANG KELIMA
Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

6
INI GURINDAM PASAL YANG KEENAM
Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat
Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru
Cahari olehmu akan isteri
Yang boleh menyerahkan diri
Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan
Cahari olehmu akan abdi
Yang ada baik sedikit budi

7
INI GURINDAM PASAL YANG KETUJUH
Apabila banyak berkata-kata
Di situlah jalan masuk dusta
Apabila banyak berlebih-lebihan suka
Itu tanda hampirkan duka
Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat
Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya letih
Apabila banyak mencat (mencacat?) orang
Itulah tanda dirinya kurang
Apabila orang yang banyak tidur
Sia-sia sajalah umur
Apabila mendengar akan kabar
Menerimanya itu hendaklah sabar
Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan
Apabila perkataan yang lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut
Apabila perkataan yang amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar
Apabila pekerjaan yang amat benar
Tidak boleh orang berbuat onar

8
INI GURINDAM PASAL YANG KEDELAPAN
Barang siapa khianat akan dirinya
Apalagi kepada lainnya
Kepada dirinya ia aniaya
Orang itu jangan engkau percaya
Lidah suka membenarkan dirinya
Daripada yang lain dapat kesalahannya
Daripada memuji diri hendaklah sabar
Biar daripada orang datangnya kabar
Orang yang suka menampakkan jasa
Setengah daripadanya syirik mengaku kuasa
Kejahatan diri disembunyikan
Kebajikan diri diamkan
Ke’aiban orang jangan dibuka
Ke’aiban diri hendaklah sangka

9
INI GURINDAM PASAL YANG KESEMBILAN
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia yaitulah syaitan
Kejahatan seorang perempuan tua
Itulah iblis punya penggawa
Kepada segala hamba-hamba raja
Di situlah syaitan tempatnya manja
Kebanyakan orang yang muda-muda
Di situlah syaitan tempat bergoda
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan
Di situlah syaitan punya jamuan
Adapun orang tua(h) yang hemat
Syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru
Dengan syaitan jadi berseteru

10
INI GURINDAM PASAL YANG KESEPULUH
Dengan bapa jangan derhaka
Supaya Allah tidak murka
Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat
Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai
Dengan kawan hendaklah adil
Supaya tangannya jadi kapil

11
INI GURINDAM PASAL YANG KESEBELAS
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa
Hendak jadi kepala
Buang perangai yang cela
Hendaklah memegang amanat
Buanglah khianat
Hendak marah
Dahulukan hujjah
Hendak dimalui
Jangan memalui
Hendak ramai
Murahkan perangai

12
INI GURINDAM PASAL YANG KEDUABELAS
Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri
Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja
Hukum adil atas rakyat
Tanda raja beroleh inayat
Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang yang pandai
Tanda mengenal kasa dan cindai
Ingatkan dirinya mati
Itulah asal berbuat bakti
Akhirat itu terlalu nyata
Kepada hati yang tidak buta

Tamatlah gurindam yang duabelas pasal yaitu karangan kita
Raja Ali Haji pada tahun Hijrah Nabi kita seribu
dua ratus enam puluh tiga kepada tiga likur
hari bulan Rajab Selasa jam pukul lima
Negeri Riau Pulau Penyengat

Suluk-Suluk Sunan Bonang

Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendaliKelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinyaDengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.


Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:

Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.


Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:

Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.